"There is no path to peace. Peace is the path."
(Mahatma Gandhi)

Thursday 4 May 2017

Hello!

Hello, everyone!
Long time no see.

Yeah, I've been inactive from this blog for almost 2 years.

Years come and go, I've graduated from school and now continuing my study in college.
Well, surely I still love writing and blogging. But I have new hobbies now, new activities, and new business to be done (I have my own online shop since last year). And to support those things, I've decided to move on to Tumblr. Not only this, I have a new one.

Don't worry though, I'll keep this blog for and maybe if I have more spare time, I will write again here or updating some info.

So, my new blog is HERE. It'll be regularly updated with photos, writings, in general: literature-related posts, aesthetic stuff, and even cosplay photos. Hopefully my contents are still informative and entertaining, hehe.
(Also, yep, I prefer using alias these days)

Don't forget to follow if you have Tumblr too! Or it's okay if you only passing by and read my writings, hehe. Anything positive would be appreciated.

Thanks for supports and comments from all of you these years ~
See you when I see you <3

Monday 14 December 2015

Muqin De Ai [Entry for NulisBuku #DearMama Project]

Ibu pernah bercerita, waktu kecil aku lebih cepat mengucapkan ‘Pap-pap-pap’ dibandingkan ‘Mam-mam-mam.’ Lalu nenekku menambahkan, yang terlebih dahulu dipanggil biasanya yang lebih disayang. Tapi kupikir, aku bukan anak yang tergolong tipe ‘biasa.’ Jadi mungkin anggapan seperti itu takkan berlaku untukku.
Okelah, saat duduk di bangku sekolah dasar aku memang jauh lebih dekat dengan ayahku. Karena Ibu bekerja, membuka bimbingan belajar di rumah untuk pelajaran eksakta. Pertama-tama masuk sekolah, Ayah dan Ibu masih menjemput aku. Lalu lama kelamaan oleh Ayah saja—karena Ibu sibuk. Pergi karyawisata, malah lebih sering dengan Nenek. Pergi les piano pun diantar Ayah, karena beliau sudah pulang kantor sehingga waktu luangnya lebih banyak dibanding Ibu yang terus-terusan mengajar. Bisa dibilang, seringkali aku malah takut dengan Ibu. Waktu bercengkerama diantara kami juga tak banyak.
            Ia seakan-akan punya sebuah daftar tak tertulis mengenai apa yang harus kulakukan dan apa yang tidak. Tidur paling lambat jam setengah 8 malam, tidak boleh makan camilan kebanyakan, tidak boleh pakai sepatu Mary Jane kesayanganku ke sekolah meskipun peraturan sekolah membebaskan jenis sepatu yang dipakai... tidak boleh ini, harus begini-begono, bla bla bla. Intinya: Ibu atau Mama itu menyebalkan!
            Namun di suatu titik aku mengalami sebuah kejadian yang cukup luar biasa bagi keluarga kami. Peristiwa yang juga berimbas besar bagi hubungan antara aku dan Ibu.
***
            Hari itu adalah hari yang tak terlupakan, sampai sekarang.
Suatu pagi yang agak mendung di bulan September, 5 tahun silam. Saat-saat di mana aku lebih menghargai kehadiran Ibu—yang sehari-hari lebih sering kupanggil Mama—meski sikapku sendiri tak banyak berubah. Melihat anak semata wayangnya ini memasuki usia belasan, beliau berusaha lebih keras membagi perhatiannya antara aku, Ayah, dan juga pekerjaan dengan baik.
“Barang-barang sudah dibawa semuanya, Sa?” tanya Ibu. Ia meletakkan tupperware yang berisi nasi dan sup wortel  ke dalam tas bekalku.
“Sudah, Mam,” aku memasukkan buku terakhir. Buku Matematika, karena PRnya baru kukerjakan pagi-pagi—sebelum menutup resleting ranselku.
“Jangan lupa kaos kaki masih ada di jemuran belakang, kamu bisa ambil sendiri ya.”
Aku menjawab dengan anggukan, sembari menguap lebar-lebar, melangkahkan kaki untuk memngambil barang yang dimaksud. Entah mengapa Nenek yang memang selalu bangun untuk memasak bagi kami hanya memperhatikan dalam diam. Beliau mengangkat kedua alisnya, “Kamu kelihatan ngantuk dan lesu banget, Sa.”
“Hah? Iya ya?” balasku heran. “Tapi nggak apa-apa kok, Arsa kuat hari ini.”
“Ada pelajaran olahraga, ya? Tidak usah dipaksakan masuk sekolah Sa, kalau kurang enak badan,” Ibu menimpali dengan agak cemas.
Nope, I’m definitely okay, Mum,” sepertinya senyumku bahkan tak mampu melunturkan rasa khawatir di wajah Ibu maupun Nenek. Yah, jujur saja aku memang mengantuk. Akibat kemarin mengerjakan tugas kelompok molor sampai pukul 5 sore, 2 jam kemudian aku baru mulai belajar untuk ulangan hari ini. Akhirnya aku ketiduran dan melupakan PR Matematika. Itulah sebabnya mengapa aku terburu-buru mengerjakan PR tersebut sebelum sarapan tadi.
“Ya sudah, yang penting kamu hati-hati ya,” Ibu mengusap-usap punggungku lembut. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, beliau tidak lagi ikut mengantarku ke sekolah. Ia memilih untuk beristirahat di rumah dan mempersiapkan diri sebelum mengajar siang nanti.
 “Tidur saja di perjalanan, Sa. Biar tidak terlalu capek,” tambahnya sebelum kami benar-benar berangkat. Sayangnya, aku hanya mengangguk pelan, menganggap lalu ucapan tersebut. Kadang aku menyesali mengapa aku bandel, tidak mau menuruti sarannya. Tebak apa yang kulakukan selama di perjalanan? Bermain telepon genggam dan berkirim dengan Miki Kurusawa, pemuda asal negeri matahari terbit yang kukenal 6 bulan lalu. Istilah gaulnya: dia gebetanku.
*
Aje gile, kata kelas sebelah materi olahraga hari ini lari bolak-balik cuy!” seru sahabatku yang cerewet luar biasa, Lyshia, sambil memain-mainkan botol minumnya. Kami melangkah keluar area sekolah diselingi obrolan-obrolan santai. Meskipun terpisah, lapangan olahraga yang dituju sebenarnya hanya terletak di seberang sekolah. Tetap saja sih, kami harus melewati jalan raya yang cukup besar dan ramai. Tapi kami bisa sedikit berleha-leha seperti ini karena kami berdua selalu menjadi yang tercepat berganti pakaian, sehingga banyak murid lain tertinggal di belakang.
“Masa? Aduh, gue males banget,” keluhku, lalu menguap untuk kesekian kalinya.
“Iyeee,  ngapain gue bohong soal beginian sih.” Lyshia menyikutku iseng, lalu tiba-tiba teringat sesuatu, “By the way, gimana tuh hubungan lo sama Kurusawa-san? Udah ada kelanjutan signifikan?”
Still the same... we talk regulary, chatting, video call. Sejauh ini bokap-nyokap cuma tahu kalo dia temen biasa aja. Gue nggak pernah bilang Miki teman spesial atau apa, karena Miki sendiri juga kayaknya belum mau serius banget,” jelasku. Lyshia memang satu dari segelintir orang yang kuberitahu mengenai Miki. Karena kurasa jarang yang akan percaya bahwa remaja pendiam sepertiku bisa dekat dengan orang dari luar negeri sampai sebegitunya. Walau menurutku normal-normal saja karena di masa globalisasi ini kita lebih mudah terhubung satu sama lain.
Lyshia menggumam mahfum sebelum kembali bertanya, “Tapi gue masih heran lho. Gimana lo berdua bisa kenal sih?”
“Ah, biasa aja tauk,” aku berkilah. “Kebetulan kok, temen lama gue yang pindah ke sana tahu kalo gue selalu tertarik budaya Jepang. Makanya waktu dia kenal Miki, dia cerita tentang gue ke Miki. Dan Miki memang lagi pingin punya temen dari luar negeri. Ya udah deh, kenalan. Begitu lanjut sampai sekarang. Lagipula Miki bilang, dia senang karena gue lumayan maklum dengan bahasa Inggris dia yang berantakan. Nggak kayak orang lain yang suka menertawakan aksen anehnya.”
“Ih, kayak cerita anime aja deh, Sa! Terus, terus, apalagi?”
Kami larut dalam obrolan, semakin asyik dengan celotehan kami, sampai tibalah saat kami harus melewati jalan raya yang ramai itu. Satu hal penting lagi yang harus kau tahu ketahui. Aku tidak kuat berjalan jauh atau berlari terlalu cepat, sebab bentuk telapak kakiku yang sangat rata membuatku mudah merasa pegal. Sama seperti Ibu, kelemahan fisik beliau tampaknya menurun padaku. Karenanya aku membiarkan Lyshia mendahuluiku menyeberang, meski akhirnya kucoba untuk berlari menyusul sahabatku itu. Tapi entah mengapa ketika aku mempercepat langkah, pandanganku mengabur sepersekian detik dan kelopak mataku terasa berat sekali. Aku tak melihat ada sesuatu yang bergerak menuju ke arahku dengan kecepatan tinggi.
“ARSA!”
Jeritan Lyshia bercampur dengan suara teman-temanku yang lain terdengar samar sebelum aku merasakan hantaman keras membuatku terjerembab ke aspal. Semuanya terjadi terlalu cepat. Decitan roda, suara pintu dibanting dengan keras, banyak langkah, dan sakit yang menyerang seluruh tubuhku dalam sekejap. Tapi di saat seperti itu pun aku masih mampu tertawa getir ketika Lyshia mendekat serta memangil-manggil namaku cemas. Aku masih bisa berbisik pelan, sedikit meracau, “Ya ampun. Emang bener kata lo, Lys. Emang gue kayak tokoh anime banget, kecelakaan klise begini.”
Bahkan ketika sudut mataku melihat sesuatu berwarna merah pekat yang mengalir membasahi jalanan, aku malah terbayang wajah khawatir Ibu tadi pagi. Ah, Ibu... Mama... apa yang akan dikatakannya melihat putri yang ia sayangi sepenuh hati mengalami sesuatu seperti ini. Mungkin beliau akan menangis. Mungkin beliau akan marah. Atau mungkin, Ibu malah menertawakanku nanti, sebab aku mencelakakan diri sendiri hanya karena satu hal sepele: mengantuk.
Sungguh alasan yang tidak lucu bukan, untuk tertabrak mobil?
*
Aku tidak merasakan apapun.
Not a single thing, sampai aku terbangun keesokan harinya di ranjang rumah sakit yang berbau antiseptik seperti biasanya. Pemandangan yang pertama kulihat adalah selang bergelimangan di mana-mana. Lalu perban. Dan tak ketinggalan, gips yang membungkus tangan kanan... serta kaki kananku. Dengan tangan kiri yang juga disusupi jarum infus, aku nyaris tak bisa melakukan apa-apa selain menggerakkan bola mata dan bibirku.
Aku melihat Ibu. Ayah juga. Nenek. Kakek. Semua anggota keluarga intiku ada di sini.
Kuhela nafas dengan berat hati. Aku bisa mendengar Ayah yang berdiri di sisi kananku mengucapkan suatu kekagetan, namun suara beliau tak terlalu jelas. Sepertinya pengaruh obat membuat kemampuan panca inderaku menurun. Tapi yang aku tahu, Ayah menangis—tanpa suara. Sementara Ibu berdiri di sisi kiriku, mengusap-usap rambutku perlahan. Wajahnya lembut, sedikit sendu dan penuh kesedihan. Namun selalu ada pancaran harapan dan ketegaran di sana. Entahlah, tiba-tiba saja aku sadar bahwa selama ini aku tak pernah memerhatikan bagaimana raut muka Ibu. Bagaimana sedihnya beliau ketika aku memilih untuk melanggar sarannya, bagaimana kecewanya beliau saat aku melawan perkataannya...
Aku jarang menatap Ibu.
Aku terlalu takut pada kedua iris cokelatnya yang tajam seperti elang, sehingga aku tak bisa—dan tak mau pula untuk melihat dirinya sebagai ibu. Sebagai orang yang melahirkanku, yang mengerti tentang diriku, yang selalu menjagaku dan memperjuangkan banyak hal untukku. Di momen itulah aku betul-betul terpukul. Sebab selama ini aku tak pernah menyayangi Ibu seutuhnya, dan hanya menganggap peran penting yang dipegang beliau sebagai suatu hal yang biasa.
“Mam...” bisikku lunglai sembari memiringkan kepala ke arah beliau. “...I’m sorry.
It doesn’t matter,” ia tersenyum sumringah. “Yang penting kamu sudah sadar sekarang, ya, Nak. Jangan pikirkan hal-hal berat lagi. Nanti Papa panggilin dokternya dulu, ya.”
            Dan hari itu dihabiskan dengan sesi pengecekan bersama dokter, lalu Ibu menyuapiku makanan—meski hanya sedikit yang masuk karena aku sangat tidak bernafsu makan—kemudian menemaniku menonton televisi. Ayah, Nenek, dan Kakek pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang sebelum Ayah sendiri kembali dan membawa tas-tas besar berisi baju ganti. Ya, bisa dipastikan mereka akan menginap karena dokter memperkirakan aku baru boleh pulang seminggu  lagi, belum terhitung waktu untuk terapi agar aku bisa berjalan seperti sediakala.
Sementara aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi, Ibu mengalihkan topik ke hal-hal yang menggembirakan. Beliau berkomentar mengenai gipsku yang nanti bisa digambari kalau sewaktu-waktu aku bosan, lalu memberitahukan bahwa Lyshia terus saja menelepon ke ponselnya dan menanyakan kabarku. Sesekali ia melontarkan candaan yang mampu membuatku tersenyum kecil. Aku tak bisa memaksakan diri, rasanya susah sekali tertawa dengan kondisi masih mengawang-awang akibat obat penahan rasa sakit.
Ibuku mungkin tak seperti wanita metropolitan kebanyakan, yang berpenampilan mencolok dengan baju bermerek serta wajah dipoles dandanan. Beliau lebih terkesan boyish, memiliki rambut sebahu yang agak berantakan, kantung mata yang jelas terlihat, serta jerawat-jerawat kecil yang menutupi pipinya akibat hormon setelah melahirkanku. Tapi ia jelas punya sesuatu yang jarang kutemui di dalam diri ibu-ibu zaman sekarang. Ibu punya kesabaran ekstra dan kasih sayang berlimpah yang selalu dicurahkannya pada setiap orang. Terlebih kepada putri tunggalnya yang sangat keras kepala ini, yaitu aku.
*
            Hari keempat, Ibu membicarakan Miki. Ayah sudah tertidur dengan nyenyaknya dan kami masih menonton televisi. Entah mengapa aku insomnia. Mungkin karena terlalu lama tidur siang tadi.
            “Miki juga terus-terusan mengirim email ke hapemu. You sure have a strong relationship with him, right?
            “Um—terus Mama baca email dia ya?” aku meringis dan balik bertanya.
            “Habis kelihatannya dia sangat khawatir,” Ibu beralasan, “Mama sih nggak paham sepenuh bahasa Inggris dia. Grammarnya agak berantakan deh. Tapi Mama mengerti maksud hatinya. Dia takut kamu kenapa-kenapa. And he used lot of affection words there... jadi Mama pikir kamu pasti penting sekali buatnya. Makanya kemarin malam Mama balas pesannya, nanti dia makin nyariin.”
            Aku membelalak, “Eeeh?! W-What did you say to him...?
            Ibu tertawa renyah, “Kamu takut Mama ngomong aneh-aneh ya? Nggak kok... I only told him about what happened with you. Mama juga bilang, kalau yang balas ini ibunya Arsa. Miki tadi pagi bilang, dia titip salam dan kepingin ngobrol sama kamu lagi kalau kamu sudah baikan nanti...”
             Fiuh. Untunglah Ibu tidak main ‘menodong’ macam-macam.
            “Tapi tebakan Mama benar, ‘kan? You like him so much. And vice versa,” Ibu menatapku jenaka. Jujur aku cukup terkejut. Beliau tidak langsung memarahiku atau melarangku berkomunikasi lagi dengan Miki begitu mengetahui sedekat apakah kami. Kesannya malah... Ibu mengharapkan aku bercerita lebih banyak mengenai dia!
            “Yeah,” akhirnya aku menjawab, setelah diiringi kesunyian yang cukup lama. “Umm... nggak masalah ‘kan, kalau aku... suka sama Miki? He’s friend of my friend. Ada teman lama yang pindah ke Jepang dan memperkenalkan dia padaku, Mam.”
            Beliau menggeleng, “Mama nggak marah dengan hal itu, sayang. Mama bebaskan kamu berteman sama siapa saja, ini ‘kan usia remajamu. Yang penting buat Mama adalah kamu jaga diri. Arsa udah gede, Mama nggak bisa terus-terusan ngelarang kayak dulu, Sa. Tapi Mama juga berharap Arsa lebih dewasa dalam bersikap, jangan sering ngambek, jangan sering ngelawan. Mungkin Mama nggak bisa seperti mami-mami lainnya... but I have my own term of happiness and love. Jadi Mama akan selalu berusaha untuk kasih yang terbaik, meskipun dengan cara yang berbeda.”
            Aku terkesima mendengarnya. Belum pernah kami berbicara dari hati ke hati seperti ini. Ibu, yang selama ini kuanggap lebih tak bersahabat dibandingkan Ayah... ternyata seperti inilah ibuku yang sebenarnya. Mama. Mama yang selalu berusaha untuk menjadi nomor satu bagi anaknya. Mama yang tidak pamrih dan tidak egois.
            “Mum... I’m sorry. Aku udah bikin Mama kecewa terus...”
            “Nah, not again,” dia menggoyang-goyangkan jari telunjuknya, “Arsa jangan terus-terusan merasa bersalah. Dan Mama udah maafin Arsa, dari dulu. No need to feel sad about your fault and past anymore. Sekarang, Arsa semangat aja. Biar cepet sembuh. Biar bisa ngobrol bareng Miki lagi. Sesekali Mama dan Papa juga boleh dong, kenalan sama Miki. Maybe he’ll become our son-in-law... who knows?
            Aku hanya tersipu mendengar godaan beliau. Namun di dalam hati, aku merasa benar-benar lega. Antara ibuku dan aku, tak ada lagi penghalang. Tak ada lagi rasa sungkan maupun kemarahan. Karena aku sadar, bagaimanapun juga rupa dan sifatnya, Mama adalah ibuku. Mama adalah kasih itu sendiri.
A thousand men may build a city, but it takes a mother to make a home.
—Unknown

[END]

***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co
***

Tuesday 15 April 2014

NEECHAN's XINGFU

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! 

###

 “Kau siap, Chi?”
            Makhluk kecil itu diletakkan di atas telapak tangan Chierru, membuatnya merasa geli karena sapuan sirip mereka yang bersentuhan dengan kulitnya. Susah payah pemuda mungil itu menjaga keseimbangan tangannya agar amfibia tersebut tidak jatuh ke pasir lembut yang mulai menyerap panas dari matahari.
            “Tentu saja,” Chierru menolehkan kepalanya sedikit ke sumber suara yang bertanya tadi. “Lei pasti juga tak sabar untuk merasakan pengalaman berenang perdananya.”
            Perempuan berumur 20 tahunan dengan rambut hitam legam sebahu dan bola mata sepekat teh hangat itu mengangkat alis, “Lei? Kau menamakannya Lei?”
            “Hu-um.”
            “Tapi kau ‘kan tak tahu dia itu jantan atau betina.”
            Chierru terdiam sesaat, jari-jemarinya mengusap cangkang bayi penyu tersebut. Ia mampu merasakan garis-garis yang membentuk pola khas di sana.
“Hmmm, kalau dia jantan, namanya tetap Lei. Kalau dia betina, namanya akan menjadi Leia,” ucapan diplomatisnya membuat gadis tadi menyunggingkan senyum untuk sesaat. “Kau sendiri tidak memberi penyumu nama, Aleth-nee?”
“Shakespeare pernah berkata—”
 “Apalah arti sebuah nama. Iya, ‘kan?” potong Chierru. Ia tahu betul bagaimana sang kakak angkat memiliki obsesi—yang menurutnya agak langka bagi generasi zaman sekarang—terhadap sastrawan lama, termasuk pencipta Romeo & Juliet itu.
“Chi-kun memang pintar,” sembari tersenyum jenaka, sebelah tangan Aleth mengusap lembut kepala Chierru. “Yah, bagiku tak apa jika dia tak punya nama, yang penting anak ini bisa menghuni rumahnya dengan tenang selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, dan menjadi harta ekosistem kita yang berharga.”
Riuh rendah para turis mancanegara dan domestik yang ikut berbaris di tepi pantai bersama mereka seakan menjadi background music yang menyenangkan. Bau angin laut yang berhembus menjadi pelengkap sempurna untuk sebuah kenyamanan pantai, dan keduanya tak dapat berhenti menimang bayi penyu yang telah diberikan untuk dilepas nanti secara bersamaan. Air muka Chierru tampak begitu larut dalam ceria, meski tak pernah menampilkannya melalui senyuman yang spesifik. Dalam hati Aleth berterima kasih pada rekomendasi yang diberikan teman-teman sekantornya. The Bay Bali ternyata bukan tempat wisata biasa seperti yang sudah-sudah ia kunjungi sebelumnya di Pulau Dewata, tempat ini menyuguhkan banyak fasilitas yang menomorsatukan pelanggan dan aktivitas menarik. Termasuk kegiatan melepaskan bayi penyu ke lautan lepas yang akan mereka lakukan. Tak sia-sia pula tabungan yang telah Aleth sisihkan dari gajinya sejak beberapa bulan yang lalu untuk perjalanan wisata selama seminggu penuh ini.
“Aleth,” Chierru memulai pembicaraan lagi, berusaha untuk mengalahkan keramaian yang membingkai suasana sekitarnya,  “Kau bilang, nama mereka itu tidak penting. Tapi apakah... bagi mereka... seorang ibu itu juga tak penting? Apakah mereka merasa kehilangan ketika harus pergi ke alam bebas tanpa sosok yang telah membuat mereka ada di dunia ini? Apakah... sang ibu penyu juga merasakan hal yang sama? Apakah mereka punya... kebahagiaan dalam hidup mereka yang singkat itu, even if they don’t know where are they come from?”
Seakan-akan tertarik akan pertanyaan tersebut, Lei menoleh sedikit, berusaha melihat lebih jelas manusia yang memegangnya sekarang. Aleth menggigit bibir. Sifat kritis Chierru yang bisa muncul kapan saja sering membuatnya bingung, tapi di sisi lain ia juga kagum pada kemampuan berpikir Chierru yang begitu idealis. Umur 13 tahun tak membuatnya menjadi anak laki-laki ‘stereotip,’ dengan imajinasi serta pikiran yang tidak bisa jauh dari kata ‘bermain.’ Sebab Aleth tahu bagaimana sosok orang tua begitu dipertanyakan oleh adiknya, bagaimana Chierru selalu menceritakan bagaimana mereka hadir dalam mimpi berkabutnya, dan bagaimana hati kecilnya yang masih remuk akan kehilangan pegangan hidup.
“Kamu tidak senang dengan liburan kita kali ini?”
“Jangan mengalihkan topik, neechan.
“Karena di manapun kita berada, ujung-ujungnya kamu akan menanyakan hal itu lagi,” Aleth mendesah, lelah.
“Memangnya tak boleh?”
Memori Aleth baru me-recall sifat keras kepala seorang Chierru. “Bukannya begitu. Saat kita seharusnya melupakan persoalan yang terjadi setiap hari dan kita bisa berdua melakukan perjalanan spesial untuk menyegarkan pikiran...  you keep asking everything about parents and happiness. Seharusnya kamu rileks. Let it flow. Apa kamu tidak jenuh setiap kali harus memikirkan hal-hal berat?”
“Manusia tak boleh bosan bertanya dan berpikir sampai ia mendapatkan jawabannya,” Chierru mendekap Lei lebih erat.
“Terlalu banyak menganalisa juga akan membuat otakmu meledak.”
Can you just answer my question, please?!” Chierru tak sadar bahwa suaranya meninggi satu oktaf. Beberapa orang menoleh penasaran mendengar perdebatan kecil diantara keduanya, namun Chierru tak peduli. Mungkin ia pun tak bisa peduli, toh ekspresi mereka takkan terbaca olehnya.
Okay, okay,” Aleth masih berusaha untuk mengontrol emosi, meski hatinya agak dongkol karena Chierru selalu saja memaksa, “Aku akan menjawab pertanyaanmu, Chierru Niandri. Kalau kau tak puas, terserah. Kau boleh marah padaku, kau boleh mendiamkanku, yang penting aku sudah melakukan apa yang kau minta. Untukku, kebahagiaan itu bukan hanya berkumpul memiliki keluarga atau saudara kandung. Setiap insan akan merasa bahagia jika bisa mensyukuri apapun yang telah dilimpahkan Tuhan padanya, baik petaka ataupun keberuntungan. It is well with my soul. Sebab dibalik semua itu pasti ada kebahagiaan lebih besar yang Tuhan ‘sembunyikan,’ kebahagiaan abadi yang akan diberikanNya pada saat yang tepat.”
Mendengar penjelasan panjang Aleth, iris kosong Chierru langsung meredup.
Perlahan diulurkannya tangan, meletakkan Lei di tangan kakaknya, “Aku ingin kembali ke kamar sendiri.”
Kemudian ia berjongkok, merogoh-rogoh sesuatu yang terbenam di dalam pasir. Sebuah tongkat panjang, dengan tali terikat di bagian atasnya. Setelah menyangkutkan tali tersebut di pergelangan tangannya, Chierru berdiri, berbalik dari hadapan Aleth tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tongkat itu digerakkan ke kanan dan kiri seiring langkahnya yang mulai menjauhi bibir pantai, menjadi radar agar dirinya tak tersandung.
Ya, Chierru adalah seorang anak keturunan Jepang yang menderita tunanetra sejak ia menghirup nafas pertamanya di dunia. Dan seperti kisah Lewis dalam film Meet The Robinsons, ia dibuang oleh orang yang seharusnya memberikan kasih sayang kepadanya. Terbungkus oleh kain tebal dan dimasukkan ke dalam sebuah kardus, Chierru ditaruh di depan pintu panti asuhan. Aleth menemukan dirinya ketika memutuskan untuk mengadopsi seorang adik setelah kehilangan seluruh anggota keluarganya dalam kecelakaan 4 tahun yang lalu. Hidup sendirian sempat membuat Aleth depresi, karena itu ia langsung mengangkat Chierru, meskipun perbedaan umur mereka cukup jauh, yakni 12 tahun. Dia tak mempermasalahkan keadaan Chi yang tidak sempurna, karena baginya, bisa melihat sang adik tumbuh saja membuatnya tetap semangat.
Aleth hanya bisa menghembuskan nafas, menatap kedua penyu yang kini berada di genggamannya. Lei dan si penyu ‘no name.’ Dia sudah biasa jika Chierru bersikap cuek seperti itu dan Aleth mengerti bahwa jawaban apapun yang dia berikan pasti akan membuat sang adik marah.
“Lei, maaf ya. Chierru tak bisa merasakan momen terakhirnya bersamamu,” Aleth berbisik pasrah.
 Tapi yang penting... kudoakan agar kalian selalu hidup bahagia di manapun kalian berada. Meskipun... kalian hanya sepasang makhluk kecil di dunia yang kejam ini.
***
            Who then shall blame, his pestered senses to recoil and start, when all that is within him does condemn itself for being there?
            Aleth baru saja ingin melanjutkan kegiatan membaca naskah Macbeth yang ia bawa dari Jakarta itu ketika mendengar Chierru merintih dari atas tempat tidur. Buru-buru ditutupnya dan mengecek keadaan sang adik. Sejak hari pertama mereka di sini, Aleth memang sudah memutuskan untuk tidur di lantai menggunakan alas,  karena mereka berada di satu kamar dengan single bed. Tadi sore Chierru terus saja berdiam diri di kamar dan menolak keras ajakannya untuk makan di Benihana seperti yang mereka rencanakan. Bahkan sushi porsi kecil yang dibawa Aleth untuknya tidak dimakan. Ia pergi tidur terlebih dahulu tanpa mengucapkan selamat malam seperti biasanya, membuat Aleth sadar bahwa Chi masih marah.
            “Chi? Ada apa, Chi?”
            Chierru mengerang ketika merasakan tangan Aleth menyentuh dahinya, berusaha keluar dari lipatan bed cover tebal yang membuatnya gerah, “Aleth... aku tidak demam...”
            “Sakit maag lagi?” tembak Aleth.
            “I-iya.”
            Aleth geleng-geleng kepala. Sudah tahu punya riwayat penyakit seperti itu, Chierru masih saja mengedepankan ego ‘ngambeknya.’
            “Sudahlah, ayo makan dulu,” dia beranjak mengambilkan makanan yang sedari tadi ditinggalkan begitu saja di sebelah televisi, “Aku lupa ini menu apa, tapi aku yakin kau sudah pernah memakannya ketika kita pergi ke Benihana Grand Indonesia waktu itu. Namanya mirip sosis...”
            “Sushi, Aletheia Niandri,” Chierru mengoreksi.
            “Oke, aku lemah dalam menghafal nama Jepang,” Aleth mengangkat bahu, “Kau mau disuapi atau makan sendiri?”
            “Sendiri.”
            Aleth segera meraih minyak kayu putih dan segelas air yang selalu ada di sebelah lampu tidur. Tak lupa ia juga mengambil satu strip obat maag dari dompetnya. Sembari menyuruh Chierru untuk menelan tablet kehijauan tersebut, Aleth membalurkan minyak kayu putih ke perut dan punggung adiknya. Kemudian ia membukakan makanan Chi, mengenggamkan sumpit ke jari-jari kurus itu. Semua kegiatan tersebut dilakukan dengan cekatan karena Aleth tak mau sakit maag itu semakin parah dan membuat nafsu makan Chierru menghilang.
            “Kunyah pelan-pelan, yang penting kau makan sedikit agar perutmu tak terlalu kosong.”
            Aleth mengusap perlahan punggung Chierru. Pemuda itu mulai meraih sushi pertamanya tanpa kesulitan yang berarti. Sejak kecil Aleth memang sudah membiasakan Chierru untuk makan dengan menggunakan sumpit maupun sendok dan garpu, karena ia tahu Chierru harus mengenal kebiasaan ‘negara asalnya’ juga. Tak ada pembicaraan lebih lanjut sejauh ini, hanya terdengar kecapan lidah samar selagi Chi asyik bersantap. Aleth sesekali menyeka telur salmon yang tertinggal di dagu Chierru atau nasi yang menempel di pipinya, tapi dia tetap mengawasi dalam diam.
            “Nee?” Chierru memanggil, setelah sadar bahwa tak ada respon berarti yang diberikan kakaknya
            “Ya, Chi?”
            Chierru menelan nori alias rumput laut yang masih menyangkut di tenggorokannya sebelum menjawab dengan bisikan cepat tanpa spasi, “Umm... akumintamaaf.”
            “Kau bicara terlalu cepat, Chi,” Aleth mengangkat kedua alisnya, bingung.
            “Aku...” Chierru menunduk, sumpit di tangan kanannya dimain-mainkan, “...minta maaf.”
            “Untuk apa?”
            “Aku tak seharusnya... marah padamu,” Chierru menghentikan kegiatan makannya sesaat. “Aku sudah bersikap tak sopan sejauh ini... padahal kau sudah mengorbankan banyak hal supaya kita bisa bersenang-senang di The Bay Bali... tapi aku malah merusak semuanya.”
            Aletheia tersenyum.
            “Aku juga salah, Chi. Aku tidak bersikap sabar sebagai seorang kakak... dan aku... malah kesal karena kau terlalu banyak bertanya.”
            Chierru merasakan tangan Aleth mendekap lengannya dengan hangat.
            “Siang tadi, aku kecewa padamu,” lanjut Aleth, “Karena kupikir sampai sekarang kau tidak bisa mensyukuri kehidupanmu yang telah berubah menjadi lebih baik. Tapi aku pun sadar, pendekatan yang kugunakan masih salah sehingga mindset-mu sama seperti dulu. Kasih sayang yang kuberikan padamu masih kurang...”
            “Tidak, neechan,” Chierru merasakan bola mata statisnya memanas, “Justru aku yang kurang menyayangimu. Setelah kupikir-pikir seharian ini... aku terlalu keras kepala untuk memahami bahwa semua yang kau katakan itu benar, bahwa kebahagiaan ada ketika kita bisa bersyukur, dan aku belum merasa bahagia karena aku terlalu terikat pada masa laluku, terlalu mengingat kesalahan kedua orangtuaku dan pengalaman buruk yang selalu membekas di otakku. Seharusnya, aku bisa melupakan itu semua bersamamu dan melangkah maju. Keep moving forward. Move on. Menjadi bahagia dengan menatap lurus ke depan, menunggu kebahagiaan abadi yang akan Tuhan berikan suatu saat nanti sembari menjalani hidup tanpa mengeluh.”
            Tiba-tiba saja ia menghambur ke pelukan Aleth. Ada butir-butir bening yang mengalir, membentuk aliran sungai di pipi halusnya, jatuh ke lengan sang kakak yang terlapisi sweater rajutan. Sebab Chierru benar-benar lega saat ini. Ia masih bisa merasakan kelembutan dari sosok kakaknya yang tangguh itu. Masih bisa berlibur dengan Aletheia Niandri, masih bisa mendapatkan limpahan kebahagiaan darinya, dan yang terpenting, ia masih memiliki Aleth.
            “Chi...”
            Aleth membiarkan Chierru untuk menumpahkan segala perasaannya sekarang. Dia yakin Chierru sudah lebih siap untuk menghadapi hari-hari berikutnya. Ia sudah siap untuk menerima kebahagiaan yang sejati, dan yang terpenting adalah Chierru sudah bisa mendapatkannya. Sepasang bola mata sepekat teh terpejam, ikut terbawa suasana, sementara segaris senyum terulas di bibirnya.
            Bahkan ketika kau mengerti arti kebahagiaan itu sendiri sudah mampu membuatku bahagia, Chi.

***SELESAI***

Friday 7 June 2013

Keep Calm & Classified!

As you know, nowadays Keep Calm slogan is very popular. At first, I don't really pay attention with those Keep Calm thingy. But last year, maybe around December, when I see Keep Calm font on a website (dafont), I think it's quite interested. Keep Calm typography is bold yet stylish. So I downloaded Keep Calm font, and then I have an idea to make Keep Calm sentence with Alex Rider theme (if you don't know what it's Alex Rider, especially Indonesian people because Alex Rider novel hasn't translated yet into our language, check this out). Then, I'm working on it and finished faster then I thought.

This is it!
What do you think? Edited using Adobe Photoshop CS and MS Paint (manual often helps~). By the way, 'classified' is a word that Alex Rider says in many occasions. 
I think it has became his trademark... 

After that, another idea came to me. It's New Year and I think I'll give this Keep Calm and Classified picture to Anthony Horrowitz, Alex Rider's writer. I tweeted my picture along with Happy New Year greeting:
(Sorry the prints screen is cropped O.o)

Actually, it was kinda late, because I tweeted on 2 January, but I thought it's okay because still on New Year's Eve 'atmosphere' hehehe :D I just want to say something to him, because I think he's a great writer and should be appreciated. But I'm very surprised when he replied:
Whoa, I think he would only say: Thanks, Happy New Year too or something like that. But I could say that he likes my fan-art ha-ha-ha :D 
Well, thanks, Uncle Horrowitz. I hope someday I could meet you. Hope that I'll be a great writer like you too! 


Tuesday 7 May 2013

Update~



It's meeh~ XD

Hey pals, after almost a year of tests and homework,  I've updated this blog! I've changed the background and some colors, and updated My Other Stuffs section. The most important thing, the blog url is changed from shelinggom to selinggoms. Okay, that's all. Thanks for reading and keep blogging! :)

Ib Version 1.04 & 1.05


Adakah yang pernah mendengar tentang Ib?

Cara membaca namanya adalah 'Eeb.' Sering juga disebut sebagai Eve, tapi sebenarnya nama tokoh utama dalam game horor berjudul sama ini adalah Ib. Iya, Ib itu game horor. Role-play game tepatnya. Saya diperkenalkan oleh teman-teman sesama otaku saya tahun 2012 akhir, sekitar bulan Oktober atau November. Penciptanya adalah kouri, orang Jepang. Game ini memang buatan Jepang, tapi untungnya sudah di translate oleh seseorang yang bernama vgperson. 

Game ini bercerita tentang seorang gadis berumur 9 tahun bernama Ib (foto kanan) yang datang ke sebuah pameran lukisan dari pelukis bernama Guertena bersama kedua orangtuanya. Ketika ia melihat sebuah lukisan berjudul Fabricated World, tiba-tiba saja seluruh ruangan menjadi gelap dan orang-orang di sana menghilang. Ib lalu terjebak dalam dunia lukisan Guertena. Ia bertemu dengan seorang pemuda berambut  ungu bernama Garry.

Mereka juga bertemu dengan seorang gadis berambut pirang dan bermata biru bernama Mary. Awalnya perjalanan Ib terasa lebih ringan dengan kehadiran Garry dan Mary. Tapi ternyata, salah satu dari sahabat baru Ib itu menyimpan rahasia besar yang berkaitan dengan Guertena, sang pelukis.

Apakah rahasia besar itu? Dan bagaimanakah Ib bisa keluar dari sana?

Di versi yang pertama saya mainkan (1.02), Ib memiliki 5 alternatif ending. Ending apa yang kita dapatkan berkaitan dengan pilihan-pilihan yang kita buat selama game berlangsung (ingat, ini RPG). 5 ending tersebut adalah: Promise Of Reunion, Memory's Crannies, Together Forever, Forgotten Portrait, dan Ib All Alone. Kemudian, saya mendengar bahwa versi 1.04, versi terbaru dari Ib sudah dirilis. Versi ini memiliki 2 ending baru: A Painting's Demise dan Welcome To The World Of Guertena. Tentu, tidak akan seru jika saya membocorkan semuanya, jadi saya akan memberikan Anda dua gambar yang dapat menggambarkan keduanya secara garis besar.
Mary, A Painting's Demise ending

Mary, A Painting's Demise Ending





(dari kiri) Garry, Mary, & Ib. Welcome To The World Of Guertena ending.


Nah, sudah bisa agak menebak bukan, bagaimana kedua ending baru tersebut? Selain 2 ending baru, Ib versi 1.04. juga punya tambahan ruangan, yaitu sebuah ruang bawah tanah yang penuh dengan teka-teki dan logika. Jujur, saya nge-spoil juga sih :p Dan sepertinya ruang bawah tanah di versi 1.04 ini susaaah banget. Tapi seru kok, saya jamin he-he-he. Kalau kalian nggak kuat main sendiri, main bersama teman juga bisa, malah jadi bisa berbagi kekagetan dan ketakutan (?) he-he. Saya sendiri sih, baru punya versi 1.02, berhubung saya masih belum biasa dengan versi 1.04, mungkin saya akan menggunakan walkthrough sementara jika saya memainkan versi 1.04 nanti. 

Salah satu bagian di Ib's New Dungeon (ruang bawah tanah di versi 1.04)

Lalu saya mengecek lagi ke tumblr-nya vgperson (yang men-translate game ini), ternyata sudah ada versi 1.05! Vgperson (nama aslinya Kate, dan dia seorang perempuan) menyatakan bahwa di versi ini, bagian ruang bawah tanah yang saya bilang susaaahhh banget itu akan dipermudah. Dia juga mengatakan bahwa kouri, sang pembuat Ib, telah mengkonfirmasi bahwa ia belum mempunyai rencana melakukan update lagi. Jadi, bisa dibilang, versi 1.05 adalah versi terbaru, meski saya lihat dari komentar orang masih ada sedikit bugs. Tapi keseluruhan, versi 4 dan 5 adalah yang terlengkap. 

Eh, setelah ngomong sepanjang ini, saya bahkan belum memberitahu di mana download Ib ya? Hehehe, silahkan kunjungi website vgperson, yaitu di sini.  Lihat saja petunjuknya, dia sudah pakai bahasa Inggris kok. Kalau kouri sendiri, website miliknya adalah ini, tapi semuanya dalam bahasa Jepang. Well, saya suka anime, manga etc tapi bahasa Jepang saya masih jauh dari bagus. Jadi saya pun masih kurang mengerti ketika membaca web kouri.

Oke, saya harap Anda tertarik dengan game ini, karena Ib memang ber-genre horor, tapi horor di dalam Ib adalah horor yang berkelas dan keren. Such a great epic. Apalagi, theme song dari Ib yaitu Memory. Lagunya sungguh menyentuh dan mellow. Mau dengar, seperti apa lagunya? Silahkan buka tumblr saya, saya pasang lagu itu sebagai back sound. *sekalian promosi* Selain itu, game ini juga bisa melatih keberanian dan logika kita, lho. Kita harus pintar-pintar memberi jawaban agar bisa mendapatkan ending yang kita inginkan, baik ending yang membahagiakan atau menyedihkan. 

Oh ya, kalau Anda sudah mencoba bermain Ib, beritahu saya juga ya. Kita bisa diskusi bareng tentang Ib 'kan, he-he-he. Dan jangan lupa, meskipun main Ib mengasyikkan, jangan lupa waktu. Tetap ingat untuk beribadah, belajar, makan, tidur, dan melakukan hal lainnya. 

Happy playing! 
(NB: Ib's Memory Theme Song. So touchy.)