###
“Kau siap, Chi?”
Makhluk kecil itu diletakkan di atas
telapak tangan Chierru, membuatnya merasa geli karena sapuan sirip mereka yang
bersentuhan dengan kulitnya. Susah payah pemuda mungil itu menjaga keseimbangan
tangannya agar amfibia tersebut tidak jatuh ke pasir lembut yang mulai menyerap
panas dari matahari.
“Tentu saja,” Chierru menolehkan
kepalanya sedikit ke sumber suara yang bertanya tadi. “Lei pasti juga tak sabar
untuk merasakan pengalaman berenang perdananya.”
Perempuan berumur 20 tahunan dengan
rambut hitam legam sebahu dan bola mata sepekat teh hangat itu mengangkat alis,
“Lei? Kau menamakannya Lei?”
“Hu-um.”
“Tapi kau ‘kan tak tahu dia itu
jantan atau betina.”
Chierru terdiam sesaat,
jari-jemarinya mengusap cangkang bayi penyu tersebut. Ia mampu merasakan
garis-garis yang membentuk pola khas di sana.
“Hmmm, kalau dia jantan, namanya
tetap Lei. Kalau dia betina, namanya akan menjadi Leia,” ucapan diplomatisnya
membuat gadis tadi menyunggingkan senyum untuk sesaat. “Kau sendiri tidak memberi
penyumu nama, Aleth-nee?”
“Shakespeare pernah berkata—”
“Apalah arti sebuah nama. Iya, ‘kan?” potong
Chierru. Ia tahu betul bagaimana sang kakak angkat memiliki obsesi—yang
menurutnya agak langka bagi generasi zaman sekarang—terhadap sastrawan lama, termasuk
pencipta Romeo & Juliet itu.
“Chi-kun memang pintar,” sembari tersenyum jenaka, sebelah tangan Aleth
mengusap lembut kepala Chierru. “Yah, bagiku tak apa jika dia tak punya nama,
yang penting anak ini bisa menghuni rumahnya dengan tenang selama bertahun-tahun,
bahkan berabad-abad, dan menjadi harta ekosistem kita yang berharga.”
Riuh rendah para turis
mancanegara dan domestik yang ikut berbaris di tepi pantai bersama mereka
seakan menjadi background music yang
menyenangkan. Bau angin laut yang berhembus menjadi pelengkap sempurna untuk
sebuah kenyamanan pantai, dan keduanya tak dapat berhenti menimang bayi penyu
yang telah diberikan untuk dilepas nanti secara bersamaan. Air muka Chierru
tampak begitu larut dalam ceria, meski tak pernah menampilkannya melalui
senyuman yang spesifik. Dalam hati Aleth berterima kasih pada rekomendasi yang
diberikan teman-teman sekantornya. The Bay Bali ternyata bukan tempat wisata
biasa seperti yang sudah-sudah ia kunjungi sebelumnya di Pulau Dewata, tempat
ini menyuguhkan banyak fasilitas yang menomorsatukan pelanggan dan aktivitas
menarik. Termasuk kegiatan melepaskan bayi penyu ke lautan lepas yang akan
mereka lakukan. Tak sia-sia pula tabungan yang telah Aleth sisihkan dari
gajinya sejak beberapa bulan yang lalu untuk perjalanan wisata selama seminggu
penuh ini.
“Aleth,” Chierru memulai
pembicaraan lagi, berusaha untuk mengalahkan keramaian yang membingkai suasana
sekitarnya, “Kau bilang, nama mereka itu
tidak penting. Tapi apakah... bagi mereka... seorang ibu itu juga tak penting?
Apakah mereka merasa kehilangan ketika harus pergi ke alam bebas tanpa sosok
yang telah membuat mereka ada di dunia ini? Apakah... sang ibu penyu juga
merasakan hal yang sama? Apakah mereka punya... kebahagiaan dalam hidup mereka
yang singkat itu, even if they don’t know
where are they come from?”
Seakan-akan tertarik akan
pertanyaan tersebut, Lei menoleh sedikit, berusaha melihat lebih jelas manusia
yang memegangnya sekarang. Aleth menggigit bibir. Sifat kritis Chierru yang
bisa muncul kapan saja sering membuatnya bingung, tapi di sisi lain ia juga
kagum pada kemampuan berpikir Chierru yang begitu idealis. Umur 13 tahun tak
membuatnya menjadi anak laki-laki ‘stereotip,’ dengan imajinasi serta pikiran
yang tidak bisa jauh dari kata ‘bermain.’ Sebab Aleth tahu bagaimana sosok
orang tua begitu dipertanyakan oleh adiknya, bagaimana Chierru selalu menceritakan
bagaimana mereka hadir dalam mimpi berkabutnya, dan bagaimana hati kecilnya
yang masih remuk akan kehilangan pegangan hidup.
“Kamu tidak senang dengan liburan
kita kali ini?”
“Jangan mengalihkan topik, neechan.”
“Karena di manapun kita berada,
ujung-ujungnya kamu akan menanyakan hal itu lagi,” Aleth mendesah, lelah.
“Memangnya tak boleh?”
Memori Aleth baru me-recall sifat keras kepala seorang
Chierru. “Bukannya begitu. Saat kita seharusnya melupakan persoalan yang
terjadi setiap hari dan kita bisa berdua melakukan perjalanan spesial untuk
menyegarkan pikiran... you keep asking everything about parents and
happiness. Seharusnya kamu rileks. Let
it flow. Apa kamu tidak jenuh setiap kali harus memikirkan hal-hal berat?”
“Manusia tak boleh bosan bertanya
dan berpikir sampai ia mendapatkan jawabannya,” Chierru mendekap Lei lebih
erat.
“Terlalu banyak menganalisa juga
akan membuat otakmu meledak.”
“Can you just answer my question, please?!” Chierru tak sadar bahwa
suaranya meninggi satu oktaf. Beberapa orang menoleh penasaran mendengar
perdebatan kecil diantara keduanya, namun Chierru tak peduli. Mungkin ia pun tak bisa peduli, toh ekspresi mereka takkan
terbaca olehnya.
“Okay, okay,” Aleth masih berusaha untuk mengontrol emosi, meski
hatinya agak dongkol karena Chierru selalu saja memaksa, “Aku akan menjawab
pertanyaanmu, Chierru Niandri. Kalau kau tak puas, terserah. Kau boleh marah
padaku, kau boleh mendiamkanku, yang penting aku sudah melakukan apa yang kau
minta. Untukku, kebahagiaan itu bukan hanya berkumpul memiliki keluarga atau
saudara kandung. Setiap insan akan merasa bahagia jika bisa mensyukuri apapun
yang telah dilimpahkan Tuhan padanya, baik petaka ataupun keberuntungan. It is well with my soul. Sebab dibalik
semua itu pasti ada kebahagiaan lebih besar yang Tuhan ‘sembunyikan,’ kebahagiaan
abadi yang akan diberikanNya pada saat yang tepat.”
Mendengar penjelasan panjang Aleth,
iris kosong Chierru langsung meredup.
Perlahan diulurkannya tangan, meletakkan
Lei di tangan kakaknya, “Aku ingin kembali ke kamar sendiri.”
Kemudian ia berjongkok,
merogoh-rogoh sesuatu yang terbenam di dalam pasir. Sebuah tongkat panjang,
dengan tali terikat di bagian atasnya. Setelah menyangkutkan tali tersebut di
pergelangan tangannya, Chierru berdiri, berbalik dari hadapan Aleth tanpa
mengatakan apa-apa lagi. Tongkat itu digerakkan ke kanan dan kiri seiring
langkahnya yang mulai menjauhi bibir pantai, menjadi radar agar dirinya tak
tersandung.
Ya, Chierru adalah seorang anak
keturunan Jepang yang menderita tunanetra sejak ia menghirup nafas pertamanya
di dunia. Dan seperti kisah Lewis dalam film Meet The Robinsons, ia dibuang oleh orang yang seharusnya
memberikan kasih sayang kepadanya. Terbungkus
oleh kain tebal dan dimasukkan ke dalam sebuah kardus, Chierru ditaruh di depan
pintu panti asuhan. Aleth menemukan dirinya ketika memutuskan untuk mengadopsi
seorang adik setelah kehilangan seluruh anggota keluarganya dalam kecelakaan 4
tahun yang lalu. Hidup sendirian sempat membuat Aleth depresi, karena itu ia langsung
mengangkat Chierru, meskipun perbedaan umur mereka cukup jauh, yakni 12 tahun. Dia
tak mempermasalahkan keadaan Chi yang tidak sempurna, karena baginya, bisa melihat
sang adik tumbuh saja membuatnya tetap semangat.
Aleth hanya bisa menghembuskan
nafas, menatap kedua penyu yang kini berada di genggamannya. Lei dan si penyu ‘no name.’ Dia sudah biasa jika Chierru
bersikap cuek seperti itu dan Aleth mengerti bahwa jawaban apapun yang dia
berikan pasti akan membuat sang adik marah.
“Lei, maaf ya. Chierru tak bisa
merasakan momen terakhirnya bersamamu,” Aleth berbisik pasrah.
Tapi
yang penting... kudoakan agar kalian selalu hidup bahagia di manapun kalian
berada. Meskipun... kalian hanya sepasang makhluk kecil di dunia yang kejam
ini.
***
Who
then shall blame, his pestered senses to recoil and start, when all that is
within him does condemn itself for being there?
Aleth baru saja ingin melanjutkan kegiatan membaca
naskah Macbeth yang ia bawa dari Jakarta itu ketika mendengar Chierru merintih
dari atas tempat tidur. Buru-buru ditutupnya dan mengecek keadaan sang adik. Sejak
hari pertama mereka di sini, Aleth memang sudah memutuskan untuk tidur di
lantai menggunakan alas, karena mereka
berada di satu kamar dengan single bed. Tadi
sore Chierru terus saja berdiam diri di kamar dan menolak keras ajakannya untuk
makan di Benihana seperti yang mereka rencanakan. Bahkan sushi porsi kecil yang dibawa Aleth untuknya tidak dimakan. Ia pergi
tidur terlebih dahulu tanpa mengucapkan selamat malam seperti biasanya, membuat
Aleth sadar bahwa Chi masih marah.
“Chi? Ada apa, Chi?”
Chierru mengerang ketika merasakan
tangan Aleth menyentuh dahinya, berusaha keluar dari lipatan bed cover tebal yang membuatnya gerah,
“Aleth... aku tidak demam...”
“Sakit maag lagi?” tembak Aleth.
“I-iya.”
Aleth geleng-geleng kepala. Sudah
tahu punya riwayat penyakit seperti itu, Chierru masih saja mengedepankan ego ‘ngambeknya.’
“Sudahlah, ayo makan dulu,” dia
beranjak mengambilkan makanan yang sedari tadi ditinggalkan begitu saja di
sebelah televisi, “Aku lupa ini menu apa, tapi aku yakin kau sudah pernah
memakannya ketika kita pergi ke Benihana Grand Indonesia waktu itu. Namanya
mirip sosis...”
“Sushi,
Aletheia Niandri,” Chierru mengoreksi.
“Oke, aku lemah dalam menghafal nama
Jepang,” Aleth mengangkat bahu, “Kau mau disuapi atau makan sendiri?”
“Sendiri.”
Aleth segera meraih minyak kayu
putih dan segelas air yang selalu ada di sebelah lampu tidur. Tak lupa ia juga
mengambil satu strip obat maag dari dompetnya. Sembari menyuruh Chierru untuk
menelan tablet kehijauan tersebut, Aleth membalurkan minyak kayu putih ke perut
dan punggung adiknya. Kemudian ia membukakan makanan Chi, mengenggamkan sumpit
ke jari-jari kurus itu. Semua kegiatan tersebut dilakukan dengan cekatan karena
Aleth tak mau sakit maag itu semakin parah dan membuat nafsu makan Chierru
menghilang.
“Kunyah pelan-pelan, yang penting
kau makan sedikit agar perutmu tak terlalu kosong.”
Aleth mengusap perlahan punggung
Chierru. Pemuda itu mulai meraih sushi pertamanya
tanpa kesulitan yang berarti. Sejak kecil Aleth memang sudah membiasakan
Chierru untuk makan dengan menggunakan sumpit maupun sendok dan garpu, karena
ia tahu Chierru harus mengenal kebiasaan ‘negara asalnya’ juga. Tak ada
pembicaraan lebih lanjut sejauh ini, hanya terdengar kecapan lidah samar selagi
Chi asyik bersantap. Aleth sesekali menyeka telur salmon yang tertinggal di
dagu Chierru atau nasi yang menempel di pipinya, tapi dia tetap mengawasi dalam
diam.
“Nee?”
Chierru memanggil, setelah sadar bahwa tak ada respon berarti yang diberikan kakaknya
“Ya, Chi?”
Chierru menelan nori alias rumput laut yang masih menyangkut di tenggorokannya
sebelum menjawab dengan bisikan cepat tanpa spasi, “Umm... akumintamaaf.”
“Kau bicara terlalu cepat, Chi,”
Aleth mengangkat kedua alisnya, bingung.
“Aku...” Chierru menunduk, sumpit di
tangan kanannya dimain-mainkan, “...minta maaf.”
“Untuk apa?”
“Aku tak seharusnya... marah
padamu,” Chierru menghentikan kegiatan makannya sesaat. “Aku sudah bersikap tak
sopan sejauh ini... padahal kau sudah mengorbankan banyak hal supaya kita bisa
bersenang-senang di The Bay Bali... tapi aku malah merusak semuanya.”
Aletheia tersenyum.
“Aku juga salah, Chi. Aku tidak
bersikap sabar sebagai seorang kakak... dan aku... malah kesal karena kau
terlalu banyak bertanya.”
Chierru merasakan tangan Aleth
mendekap lengannya dengan hangat.
“Siang tadi, aku kecewa padamu,”
lanjut Aleth, “Karena kupikir sampai sekarang kau tidak bisa mensyukuri kehidupanmu
yang telah berubah menjadi lebih baik. Tapi aku pun sadar, pendekatan yang
kugunakan masih salah sehingga mindset-mu
sama seperti dulu. Kasih sayang yang kuberikan padamu masih kurang...”
“Tidak, neechan,” Chierru merasakan bola mata statisnya memanas, “Justru
aku yang kurang menyayangimu. Setelah kupikir-pikir seharian ini... aku terlalu
keras kepala untuk memahami bahwa semua yang kau katakan itu benar, bahwa
kebahagiaan ada ketika kita bisa bersyukur, dan aku belum merasa bahagia karena
aku terlalu terikat pada masa laluku, terlalu mengingat kesalahan kedua
orangtuaku dan pengalaman buruk yang selalu membekas di otakku. Seharusnya, aku
bisa melupakan itu semua bersamamu dan melangkah maju. Keep moving forward. Move on. Menjadi bahagia dengan menatap lurus
ke depan, menunggu kebahagiaan abadi yang akan Tuhan berikan suatu saat nanti
sembari menjalani hidup tanpa mengeluh.”
Tiba-tiba saja ia menghambur ke
pelukan Aleth. Ada butir-butir bening yang mengalir, membentuk aliran sungai di
pipi halusnya, jatuh ke lengan sang kakak yang terlapisi sweater rajutan. Sebab Chierru benar-benar lega saat ini. Ia masih
bisa merasakan kelembutan dari sosok kakaknya yang tangguh itu. Masih bisa
berlibur dengan Aletheia Niandri, masih bisa mendapatkan limpahan kebahagiaan
darinya, dan yang terpenting, ia masih memiliki
Aleth.
“Chi...”
Aleth membiarkan Chierru untuk menumpahkan
segala perasaannya sekarang. Dia yakin Chierru sudah lebih siap untuk
menghadapi hari-hari berikutnya. Ia sudah siap untuk menerima kebahagiaan yang
sejati, dan yang terpenting adalah Chierru sudah bisa mendapatkannya. Sepasang bola mata sepekat teh terpejam, ikut
terbawa suasana, sementara segaris senyum terulas di bibirnya.
Bahkan
ketika kau mengerti arti kebahagiaan itu sendiri sudah mampu membuatku bahagia,
Chi.
***SELESAI***
No comments:
Post a Comment