"There is no path to peace. Peace is the path."
(Mahatma Gandhi)

Tuesday 15 April 2014

NEECHAN's XINGFU

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! 

###

 “Kau siap, Chi?”
            Makhluk kecil itu diletakkan di atas telapak tangan Chierru, membuatnya merasa geli karena sapuan sirip mereka yang bersentuhan dengan kulitnya. Susah payah pemuda mungil itu menjaga keseimbangan tangannya agar amfibia tersebut tidak jatuh ke pasir lembut yang mulai menyerap panas dari matahari.
            “Tentu saja,” Chierru menolehkan kepalanya sedikit ke sumber suara yang bertanya tadi. “Lei pasti juga tak sabar untuk merasakan pengalaman berenang perdananya.”
            Perempuan berumur 20 tahunan dengan rambut hitam legam sebahu dan bola mata sepekat teh hangat itu mengangkat alis, “Lei? Kau menamakannya Lei?”
            “Hu-um.”
            “Tapi kau ‘kan tak tahu dia itu jantan atau betina.”
            Chierru terdiam sesaat, jari-jemarinya mengusap cangkang bayi penyu tersebut. Ia mampu merasakan garis-garis yang membentuk pola khas di sana.
“Hmmm, kalau dia jantan, namanya tetap Lei. Kalau dia betina, namanya akan menjadi Leia,” ucapan diplomatisnya membuat gadis tadi menyunggingkan senyum untuk sesaat. “Kau sendiri tidak memberi penyumu nama, Aleth-nee?”
“Shakespeare pernah berkata—”
 “Apalah arti sebuah nama. Iya, ‘kan?” potong Chierru. Ia tahu betul bagaimana sang kakak angkat memiliki obsesi—yang menurutnya agak langka bagi generasi zaman sekarang—terhadap sastrawan lama, termasuk pencipta Romeo & Juliet itu.
“Chi-kun memang pintar,” sembari tersenyum jenaka, sebelah tangan Aleth mengusap lembut kepala Chierru. “Yah, bagiku tak apa jika dia tak punya nama, yang penting anak ini bisa menghuni rumahnya dengan tenang selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, dan menjadi harta ekosistem kita yang berharga.”
Riuh rendah para turis mancanegara dan domestik yang ikut berbaris di tepi pantai bersama mereka seakan menjadi background music yang menyenangkan. Bau angin laut yang berhembus menjadi pelengkap sempurna untuk sebuah kenyamanan pantai, dan keduanya tak dapat berhenti menimang bayi penyu yang telah diberikan untuk dilepas nanti secara bersamaan. Air muka Chierru tampak begitu larut dalam ceria, meski tak pernah menampilkannya melalui senyuman yang spesifik. Dalam hati Aleth berterima kasih pada rekomendasi yang diberikan teman-teman sekantornya. The Bay Bali ternyata bukan tempat wisata biasa seperti yang sudah-sudah ia kunjungi sebelumnya di Pulau Dewata, tempat ini menyuguhkan banyak fasilitas yang menomorsatukan pelanggan dan aktivitas menarik. Termasuk kegiatan melepaskan bayi penyu ke lautan lepas yang akan mereka lakukan. Tak sia-sia pula tabungan yang telah Aleth sisihkan dari gajinya sejak beberapa bulan yang lalu untuk perjalanan wisata selama seminggu penuh ini.
“Aleth,” Chierru memulai pembicaraan lagi, berusaha untuk mengalahkan keramaian yang membingkai suasana sekitarnya,  “Kau bilang, nama mereka itu tidak penting. Tapi apakah... bagi mereka... seorang ibu itu juga tak penting? Apakah mereka merasa kehilangan ketika harus pergi ke alam bebas tanpa sosok yang telah membuat mereka ada di dunia ini? Apakah... sang ibu penyu juga merasakan hal yang sama? Apakah mereka punya... kebahagiaan dalam hidup mereka yang singkat itu, even if they don’t know where are they come from?”
Seakan-akan tertarik akan pertanyaan tersebut, Lei menoleh sedikit, berusaha melihat lebih jelas manusia yang memegangnya sekarang. Aleth menggigit bibir. Sifat kritis Chierru yang bisa muncul kapan saja sering membuatnya bingung, tapi di sisi lain ia juga kagum pada kemampuan berpikir Chierru yang begitu idealis. Umur 13 tahun tak membuatnya menjadi anak laki-laki ‘stereotip,’ dengan imajinasi serta pikiran yang tidak bisa jauh dari kata ‘bermain.’ Sebab Aleth tahu bagaimana sosok orang tua begitu dipertanyakan oleh adiknya, bagaimana Chierru selalu menceritakan bagaimana mereka hadir dalam mimpi berkabutnya, dan bagaimana hati kecilnya yang masih remuk akan kehilangan pegangan hidup.
“Kamu tidak senang dengan liburan kita kali ini?”
“Jangan mengalihkan topik, neechan.
“Karena di manapun kita berada, ujung-ujungnya kamu akan menanyakan hal itu lagi,” Aleth mendesah, lelah.
“Memangnya tak boleh?”
Memori Aleth baru me-recall sifat keras kepala seorang Chierru. “Bukannya begitu. Saat kita seharusnya melupakan persoalan yang terjadi setiap hari dan kita bisa berdua melakukan perjalanan spesial untuk menyegarkan pikiran...  you keep asking everything about parents and happiness. Seharusnya kamu rileks. Let it flow. Apa kamu tidak jenuh setiap kali harus memikirkan hal-hal berat?”
“Manusia tak boleh bosan bertanya dan berpikir sampai ia mendapatkan jawabannya,” Chierru mendekap Lei lebih erat.
“Terlalu banyak menganalisa juga akan membuat otakmu meledak.”
Can you just answer my question, please?!” Chierru tak sadar bahwa suaranya meninggi satu oktaf. Beberapa orang menoleh penasaran mendengar perdebatan kecil diantara keduanya, namun Chierru tak peduli. Mungkin ia pun tak bisa peduli, toh ekspresi mereka takkan terbaca olehnya.
Okay, okay,” Aleth masih berusaha untuk mengontrol emosi, meski hatinya agak dongkol karena Chierru selalu saja memaksa, “Aku akan menjawab pertanyaanmu, Chierru Niandri. Kalau kau tak puas, terserah. Kau boleh marah padaku, kau boleh mendiamkanku, yang penting aku sudah melakukan apa yang kau minta. Untukku, kebahagiaan itu bukan hanya berkumpul memiliki keluarga atau saudara kandung. Setiap insan akan merasa bahagia jika bisa mensyukuri apapun yang telah dilimpahkan Tuhan padanya, baik petaka ataupun keberuntungan. It is well with my soul. Sebab dibalik semua itu pasti ada kebahagiaan lebih besar yang Tuhan ‘sembunyikan,’ kebahagiaan abadi yang akan diberikanNya pada saat yang tepat.”
Mendengar penjelasan panjang Aleth, iris kosong Chierru langsung meredup.
Perlahan diulurkannya tangan, meletakkan Lei di tangan kakaknya, “Aku ingin kembali ke kamar sendiri.”
Kemudian ia berjongkok, merogoh-rogoh sesuatu yang terbenam di dalam pasir. Sebuah tongkat panjang, dengan tali terikat di bagian atasnya. Setelah menyangkutkan tali tersebut di pergelangan tangannya, Chierru berdiri, berbalik dari hadapan Aleth tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tongkat itu digerakkan ke kanan dan kiri seiring langkahnya yang mulai menjauhi bibir pantai, menjadi radar agar dirinya tak tersandung.
Ya, Chierru adalah seorang anak keturunan Jepang yang menderita tunanetra sejak ia menghirup nafas pertamanya di dunia. Dan seperti kisah Lewis dalam film Meet The Robinsons, ia dibuang oleh orang yang seharusnya memberikan kasih sayang kepadanya. Terbungkus oleh kain tebal dan dimasukkan ke dalam sebuah kardus, Chierru ditaruh di depan pintu panti asuhan. Aleth menemukan dirinya ketika memutuskan untuk mengadopsi seorang adik setelah kehilangan seluruh anggota keluarganya dalam kecelakaan 4 tahun yang lalu. Hidup sendirian sempat membuat Aleth depresi, karena itu ia langsung mengangkat Chierru, meskipun perbedaan umur mereka cukup jauh, yakni 12 tahun. Dia tak mempermasalahkan keadaan Chi yang tidak sempurna, karena baginya, bisa melihat sang adik tumbuh saja membuatnya tetap semangat.
Aleth hanya bisa menghembuskan nafas, menatap kedua penyu yang kini berada di genggamannya. Lei dan si penyu ‘no name.’ Dia sudah biasa jika Chierru bersikap cuek seperti itu dan Aleth mengerti bahwa jawaban apapun yang dia berikan pasti akan membuat sang adik marah.
“Lei, maaf ya. Chierru tak bisa merasakan momen terakhirnya bersamamu,” Aleth berbisik pasrah.
 Tapi yang penting... kudoakan agar kalian selalu hidup bahagia di manapun kalian berada. Meskipun... kalian hanya sepasang makhluk kecil di dunia yang kejam ini.
***
            Who then shall blame, his pestered senses to recoil and start, when all that is within him does condemn itself for being there?
            Aleth baru saja ingin melanjutkan kegiatan membaca naskah Macbeth yang ia bawa dari Jakarta itu ketika mendengar Chierru merintih dari atas tempat tidur. Buru-buru ditutupnya dan mengecek keadaan sang adik. Sejak hari pertama mereka di sini, Aleth memang sudah memutuskan untuk tidur di lantai menggunakan alas,  karena mereka berada di satu kamar dengan single bed. Tadi sore Chierru terus saja berdiam diri di kamar dan menolak keras ajakannya untuk makan di Benihana seperti yang mereka rencanakan. Bahkan sushi porsi kecil yang dibawa Aleth untuknya tidak dimakan. Ia pergi tidur terlebih dahulu tanpa mengucapkan selamat malam seperti biasanya, membuat Aleth sadar bahwa Chi masih marah.
            “Chi? Ada apa, Chi?”
            Chierru mengerang ketika merasakan tangan Aleth menyentuh dahinya, berusaha keluar dari lipatan bed cover tebal yang membuatnya gerah, “Aleth... aku tidak demam...”
            “Sakit maag lagi?” tembak Aleth.
            “I-iya.”
            Aleth geleng-geleng kepala. Sudah tahu punya riwayat penyakit seperti itu, Chierru masih saja mengedepankan ego ‘ngambeknya.’
            “Sudahlah, ayo makan dulu,” dia beranjak mengambilkan makanan yang sedari tadi ditinggalkan begitu saja di sebelah televisi, “Aku lupa ini menu apa, tapi aku yakin kau sudah pernah memakannya ketika kita pergi ke Benihana Grand Indonesia waktu itu. Namanya mirip sosis...”
            “Sushi, Aletheia Niandri,” Chierru mengoreksi.
            “Oke, aku lemah dalam menghafal nama Jepang,” Aleth mengangkat bahu, “Kau mau disuapi atau makan sendiri?”
            “Sendiri.”
            Aleth segera meraih minyak kayu putih dan segelas air yang selalu ada di sebelah lampu tidur. Tak lupa ia juga mengambil satu strip obat maag dari dompetnya. Sembari menyuruh Chierru untuk menelan tablet kehijauan tersebut, Aleth membalurkan minyak kayu putih ke perut dan punggung adiknya. Kemudian ia membukakan makanan Chi, mengenggamkan sumpit ke jari-jari kurus itu. Semua kegiatan tersebut dilakukan dengan cekatan karena Aleth tak mau sakit maag itu semakin parah dan membuat nafsu makan Chierru menghilang.
            “Kunyah pelan-pelan, yang penting kau makan sedikit agar perutmu tak terlalu kosong.”
            Aleth mengusap perlahan punggung Chierru. Pemuda itu mulai meraih sushi pertamanya tanpa kesulitan yang berarti. Sejak kecil Aleth memang sudah membiasakan Chierru untuk makan dengan menggunakan sumpit maupun sendok dan garpu, karena ia tahu Chierru harus mengenal kebiasaan ‘negara asalnya’ juga. Tak ada pembicaraan lebih lanjut sejauh ini, hanya terdengar kecapan lidah samar selagi Chi asyik bersantap. Aleth sesekali menyeka telur salmon yang tertinggal di dagu Chierru atau nasi yang menempel di pipinya, tapi dia tetap mengawasi dalam diam.
            “Nee?” Chierru memanggil, setelah sadar bahwa tak ada respon berarti yang diberikan kakaknya
            “Ya, Chi?”
            Chierru menelan nori alias rumput laut yang masih menyangkut di tenggorokannya sebelum menjawab dengan bisikan cepat tanpa spasi, “Umm... akumintamaaf.”
            “Kau bicara terlalu cepat, Chi,” Aleth mengangkat kedua alisnya, bingung.
            “Aku...” Chierru menunduk, sumpit di tangan kanannya dimain-mainkan, “...minta maaf.”
            “Untuk apa?”
            “Aku tak seharusnya... marah padamu,” Chierru menghentikan kegiatan makannya sesaat. “Aku sudah bersikap tak sopan sejauh ini... padahal kau sudah mengorbankan banyak hal supaya kita bisa bersenang-senang di The Bay Bali... tapi aku malah merusak semuanya.”
            Aletheia tersenyum.
            “Aku juga salah, Chi. Aku tidak bersikap sabar sebagai seorang kakak... dan aku... malah kesal karena kau terlalu banyak bertanya.”
            Chierru merasakan tangan Aleth mendekap lengannya dengan hangat.
            “Siang tadi, aku kecewa padamu,” lanjut Aleth, “Karena kupikir sampai sekarang kau tidak bisa mensyukuri kehidupanmu yang telah berubah menjadi lebih baik. Tapi aku pun sadar, pendekatan yang kugunakan masih salah sehingga mindset-mu sama seperti dulu. Kasih sayang yang kuberikan padamu masih kurang...”
            “Tidak, neechan,” Chierru merasakan bola mata statisnya memanas, “Justru aku yang kurang menyayangimu. Setelah kupikir-pikir seharian ini... aku terlalu keras kepala untuk memahami bahwa semua yang kau katakan itu benar, bahwa kebahagiaan ada ketika kita bisa bersyukur, dan aku belum merasa bahagia karena aku terlalu terikat pada masa laluku, terlalu mengingat kesalahan kedua orangtuaku dan pengalaman buruk yang selalu membekas di otakku. Seharusnya, aku bisa melupakan itu semua bersamamu dan melangkah maju. Keep moving forward. Move on. Menjadi bahagia dengan menatap lurus ke depan, menunggu kebahagiaan abadi yang akan Tuhan berikan suatu saat nanti sembari menjalani hidup tanpa mengeluh.”
            Tiba-tiba saja ia menghambur ke pelukan Aleth. Ada butir-butir bening yang mengalir, membentuk aliran sungai di pipi halusnya, jatuh ke lengan sang kakak yang terlapisi sweater rajutan. Sebab Chierru benar-benar lega saat ini. Ia masih bisa merasakan kelembutan dari sosok kakaknya yang tangguh itu. Masih bisa berlibur dengan Aletheia Niandri, masih bisa mendapatkan limpahan kebahagiaan darinya, dan yang terpenting, ia masih memiliki Aleth.
            “Chi...”
            Aleth membiarkan Chierru untuk menumpahkan segala perasaannya sekarang. Dia yakin Chierru sudah lebih siap untuk menghadapi hari-hari berikutnya. Ia sudah siap untuk menerima kebahagiaan yang sejati, dan yang terpenting adalah Chierru sudah bisa mendapatkannya. Sepasang bola mata sepekat teh terpejam, ikut terbawa suasana, sementara segaris senyum terulas di bibirnya.
            Bahkan ketika kau mengerti arti kebahagiaan itu sendiri sudah mampu membuatku bahagia, Chi.

***SELESAI***

No comments:

Post a Comment