"There is no path to peace. Peace is the path."
(Mahatma Gandhi)

Monday 14 December 2015

Muqin De Ai [Entry for NulisBuku #DearMama Project]

Ibu pernah bercerita, waktu kecil aku lebih cepat mengucapkan ‘Pap-pap-pap’ dibandingkan ‘Mam-mam-mam.’ Lalu nenekku menambahkan, yang terlebih dahulu dipanggil biasanya yang lebih disayang. Tapi kupikir, aku bukan anak yang tergolong tipe ‘biasa.’ Jadi mungkin anggapan seperti itu takkan berlaku untukku.
Okelah, saat duduk di bangku sekolah dasar aku memang jauh lebih dekat dengan ayahku. Karena Ibu bekerja, membuka bimbingan belajar di rumah untuk pelajaran eksakta. Pertama-tama masuk sekolah, Ayah dan Ibu masih menjemput aku. Lalu lama kelamaan oleh Ayah saja—karena Ibu sibuk. Pergi karyawisata, malah lebih sering dengan Nenek. Pergi les piano pun diantar Ayah, karena beliau sudah pulang kantor sehingga waktu luangnya lebih banyak dibanding Ibu yang terus-terusan mengajar. Bisa dibilang, seringkali aku malah takut dengan Ibu. Waktu bercengkerama diantara kami juga tak banyak.
            Ia seakan-akan punya sebuah daftar tak tertulis mengenai apa yang harus kulakukan dan apa yang tidak. Tidur paling lambat jam setengah 8 malam, tidak boleh makan camilan kebanyakan, tidak boleh pakai sepatu Mary Jane kesayanganku ke sekolah meskipun peraturan sekolah membebaskan jenis sepatu yang dipakai... tidak boleh ini, harus begini-begono, bla bla bla. Intinya: Ibu atau Mama itu menyebalkan!
            Namun di suatu titik aku mengalami sebuah kejadian yang cukup luar biasa bagi keluarga kami. Peristiwa yang juga berimbas besar bagi hubungan antara aku dan Ibu.
***
            Hari itu adalah hari yang tak terlupakan, sampai sekarang.
Suatu pagi yang agak mendung di bulan September, 5 tahun silam. Saat-saat di mana aku lebih menghargai kehadiran Ibu—yang sehari-hari lebih sering kupanggil Mama—meski sikapku sendiri tak banyak berubah. Melihat anak semata wayangnya ini memasuki usia belasan, beliau berusaha lebih keras membagi perhatiannya antara aku, Ayah, dan juga pekerjaan dengan baik.
“Barang-barang sudah dibawa semuanya, Sa?” tanya Ibu. Ia meletakkan tupperware yang berisi nasi dan sup wortel  ke dalam tas bekalku.
“Sudah, Mam,” aku memasukkan buku terakhir. Buku Matematika, karena PRnya baru kukerjakan pagi-pagi—sebelum menutup resleting ranselku.
“Jangan lupa kaos kaki masih ada di jemuran belakang, kamu bisa ambil sendiri ya.”
Aku menjawab dengan anggukan, sembari menguap lebar-lebar, melangkahkan kaki untuk memngambil barang yang dimaksud. Entah mengapa Nenek yang memang selalu bangun untuk memasak bagi kami hanya memperhatikan dalam diam. Beliau mengangkat kedua alisnya, “Kamu kelihatan ngantuk dan lesu banget, Sa.”
“Hah? Iya ya?” balasku heran. “Tapi nggak apa-apa kok, Arsa kuat hari ini.”
“Ada pelajaran olahraga, ya? Tidak usah dipaksakan masuk sekolah Sa, kalau kurang enak badan,” Ibu menimpali dengan agak cemas.
Nope, I’m definitely okay, Mum,” sepertinya senyumku bahkan tak mampu melunturkan rasa khawatir di wajah Ibu maupun Nenek. Yah, jujur saja aku memang mengantuk. Akibat kemarin mengerjakan tugas kelompok molor sampai pukul 5 sore, 2 jam kemudian aku baru mulai belajar untuk ulangan hari ini. Akhirnya aku ketiduran dan melupakan PR Matematika. Itulah sebabnya mengapa aku terburu-buru mengerjakan PR tersebut sebelum sarapan tadi.
“Ya sudah, yang penting kamu hati-hati ya,” Ibu mengusap-usap punggungku lembut. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, beliau tidak lagi ikut mengantarku ke sekolah. Ia memilih untuk beristirahat di rumah dan mempersiapkan diri sebelum mengajar siang nanti.
 “Tidur saja di perjalanan, Sa. Biar tidak terlalu capek,” tambahnya sebelum kami benar-benar berangkat. Sayangnya, aku hanya mengangguk pelan, menganggap lalu ucapan tersebut. Kadang aku menyesali mengapa aku bandel, tidak mau menuruti sarannya. Tebak apa yang kulakukan selama di perjalanan? Bermain telepon genggam dan berkirim dengan Miki Kurusawa, pemuda asal negeri matahari terbit yang kukenal 6 bulan lalu. Istilah gaulnya: dia gebetanku.
*
Aje gile, kata kelas sebelah materi olahraga hari ini lari bolak-balik cuy!” seru sahabatku yang cerewet luar biasa, Lyshia, sambil memain-mainkan botol minumnya. Kami melangkah keluar area sekolah diselingi obrolan-obrolan santai. Meskipun terpisah, lapangan olahraga yang dituju sebenarnya hanya terletak di seberang sekolah. Tetap saja sih, kami harus melewati jalan raya yang cukup besar dan ramai. Tapi kami bisa sedikit berleha-leha seperti ini karena kami berdua selalu menjadi yang tercepat berganti pakaian, sehingga banyak murid lain tertinggal di belakang.
“Masa? Aduh, gue males banget,” keluhku, lalu menguap untuk kesekian kalinya.
“Iyeee,  ngapain gue bohong soal beginian sih.” Lyshia menyikutku iseng, lalu tiba-tiba teringat sesuatu, “By the way, gimana tuh hubungan lo sama Kurusawa-san? Udah ada kelanjutan signifikan?”
Still the same... we talk regulary, chatting, video call. Sejauh ini bokap-nyokap cuma tahu kalo dia temen biasa aja. Gue nggak pernah bilang Miki teman spesial atau apa, karena Miki sendiri juga kayaknya belum mau serius banget,” jelasku. Lyshia memang satu dari segelintir orang yang kuberitahu mengenai Miki. Karena kurasa jarang yang akan percaya bahwa remaja pendiam sepertiku bisa dekat dengan orang dari luar negeri sampai sebegitunya. Walau menurutku normal-normal saja karena di masa globalisasi ini kita lebih mudah terhubung satu sama lain.
Lyshia menggumam mahfum sebelum kembali bertanya, “Tapi gue masih heran lho. Gimana lo berdua bisa kenal sih?”
“Ah, biasa aja tauk,” aku berkilah. “Kebetulan kok, temen lama gue yang pindah ke sana tahu kalo gue selalu tertarik budaya Jepang. Makanya waktu dia kenal Miki, dia cerita tentang gue ke Miki. Dan Miki memang lagi pingin punya temen dari luar negeri. Ya udah deh, kenalan. Begitu lanjut sampai sekarang. Lagipula Miki bilang, dia senang karena gue lumayan maklum dengan bahasa Inggris dia yang berantakan. Nggak kayak orang lain yang suka menertawakan aksen anehnya.”
“Ih, kayak cerita anime aja deh, Sa! Terus, terus, apalagi?”
Kami larut dalam obrolan, semakin asyik dengan celotehan kami, sampai tibalah saat kami harus melewati jalan raya yang ramai itu. Satu hal penting lagi yang harus kau tahu ketahui. Aku tidak kuat berjalan jauh atau berlari terlalu cepat, sebab bentuk telapak kakiku yang sangat rata membuatku mudah merasa pegal. Sama seperti Ibu, kelemahan fisik beliau tampaknya menurun padaku. Karenanya aku membiarkan Lyshia mendahuluiku menyeberang, meski akhirnya kucoba untuk berlari menyusul sahabatku itu. Tapi entah mengapa ketika aku mempercepat langkah, pandanganku mengabur sepersekian detik dan kelopak mataku terasa berat sekali. Aku tak melihat ada sesuatu yang bergerak menuju ke arahku dengan kecepatan tinggi.
“ARSA!”
Jeritan Lyshia bercampur dengan suara teman-temanku yang lain terdengar samar sebelum aku merasakan hantaman keras membuatku terjerembab ke aspal. Semuanya terjadi terlalu cepat. Decitan roda, suara pintu dibanting dengan keras, banyak langkah, dan sakit yang menyerang seluruh tubuhku dalam sekejap. Tapi di saat seperti itu pun aku masih mampu tertawa getir ketika Lyshia mendekat serta memangil-manggil namaku cemas. Aku masih bisa berbisik pelan, sedikit meracau, “Ya ampun. Emang bener kata lo, Lys. Emang gue kayak tokoh anime banget, kecelakaan klise begini.”
Bahkan ketika sudut mataku melihat sesuatu berwarna merah pekat yang mengalir membasahi jalanan, aku malah terbayang wajah khawatir Ibu tadi pagi. Ah, Ibu... Mama... apa yang akan dikatakannya melihat putri yang ia sayangi sepenuh hati mengalami sesuatu seperti ini. Mungkin beliau akan menangis. Mungkin beliau akan marah. Atau mungkin, Ibu malah menertawakanku nanti, sebab aku mencelakakan diri sendiri hanya karena satu hal sepele: mengantuk.
Sungguh alasan yang tidak lucu bukan, untuk tertabrak mobil?
*
Aku tidak merasakan apapun.
Not a single thing, sampai aku terbangun keesokan harinya di ranjang rumah sakit yang berbau antiseptik seperti biasanya. Pemandangan yang pertama kulihat adalah selang bergelimangan di mana-mana. Lalu perban. Dan tak ketinggalan, gips yang membungkus tangan kanan... serta kaki kananku. Dengan tangan kiri yang juga disusupi jarum infus, aku nyaris tak bisa melakukan apa-apa selain menggerakkan bola mata dan bibirku.
Aku melihat Ibu. Ayah juga. Nenek. Kakek. Semua anggota keluarga intiku ada di sini.
Kuhela nafas dengan berat hati. Aku bisa mendengar Ayah yang berdiri di sisi kananku mengucapkan suatu kekagetan, namun suara beliau tak terlalu jelas. Sepertinya pengaruh obat membuat kemampuan panca inderaku menurun. Tapi yang aku tahu, Ayah menangis—tanpa suara. Sementara Ibu berdiri di sisi kiriku, mengusap-usap rambutku perlahan. Wajahnya lembut, sedikit sendu dan penuh kesedihan. Namun selalu ada pancaran harapan dan ketegaran di sana. Entahlah, tiba-tiba saja aku sadar bahwa selama ini aku tak pernah memerhatikan bagaimana raut muka Ibu. Bagaimana sedihnya beliau ketika aku memilih untuk melanggar sarannya, bagaimana kecewanya beliau saat aku melawan perkataannya...
Aku jarang menatap Ibu.
Aku terlalu takut pada kedua iris cokelatnya yang tajam seperti elang, sehingga aku tak bisa—dan tak mau pula untuk melihat dirinya sebagai ibu. Sebagai orang yang melahirkanku, yang mengerti tentang diriku, yang selalu menjagaku dan memperjuangkan banyak hal untukku. Di momen itulah aku betul-betul terpukul. Sebab selama ini aku tak pernah menyayangi Ibu seutuhnya, dan hanya menganggap peran penting yang dipegang beliau sebagai suatu hal yang biasa.
“Mam...” bisikku lunglai sembari memiringkan kepala ke arah beliau. “...I’m sorry.
It doesn’t matter,” ia tersenyum sumringah. “Yang penting kamu sudah sadar sekarang, ya, Nak. Jangan pikirkan hal-hal berat lagi. Nanti Papa panggilin dokternya dulu, ya.”
            Dan hari itu dihabiskan dengan sesi pengecekan bersama dokter, lalu Ibu menyuapiku makanan—meski hanya sedikit yang masuk karena aku sangat tidak bernafsu makan—kemudian menemaniku menonton televisi. Ayah, Nenek, dan Kakek pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang sebelum Ayah sendiri kembali dan membawa tas-tas besar berisi baju ganti. Ya, bisa dipastikan mereka akan menginap karena dokter memperkirakan aku baru boleh pulang seminggu  lagi, belum terhitung waktu untuk terapi agar aku bisa berjalan seperti sediakala.
Sementara aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi, Ibu mengalihkan topik ke hal-hal yang menggembirakan. Beliau berkomentar mengenai gipsku yang nanti bisa digambari kalau sewaktu-waktu aku bosan, lalu memberitahukan bahwa Lyshia terus saja menelepon ke ponselnya dan menanyakan kabarku. Sesekali ia melontarkan candaan yang mampu membuatku tersenyum kecil. Aku tak bisa memaksakan diri, rasanya susah sekali tertawa dengan kondisi masih mengawang-awang akibat obat penahan rasa sakit.
Ibuku mungkin tak seperti wanita metropolitan kebanyakan, yang berpenampilan mencolok dengan baju bermerek serta wajah dipoles dandanan. Beliau lebih terkesan boyish, memiliki rambut sebahu yang agak berantakan, kantung mata yang jelas terlihat, serta jerawat-jerawat kecil yang menutupi pipinya akibat hormon setelah melahirkanku. Tapi ia jelas punya sesuatu yang jarang kutemui di dalam diri ibu-ibu zaman sekarang. Ibu punya kesabaran ekstra dan kasih sayang berlimpah yang selalu dicurahkannya pada setiap orang. Terlebih kepada putri tunggalnya yang sangat keras kepala ini, yaitu aku.
*
            Hari keempat, Ibu membicarakan Miki. Ayah sudah tertidur dengan nyenyaknya dan kami masih menonton televisi. Entah mengapa aku insomnia. Mungkin karena terlalu lama tidur siang tadi.
            “Miki juga terus-terusan mengirim email ke hapemu. You sure have a strong relationship with him, right?
            “Um—terus Mama baca email dia ya?” aku meringis dan balik bertanya.
            “Habis kelihatannya dia sangat khawatir,” Ibu beralasan, “Mama sih nggak paham sepenuh bahasa Inggris dia. Grammarnya agak berantakan deh. Tapi Mama mengerti maksud hatinya. Dia takut kamu kenapa-kenapa. And he used lot of affection words there... jadi Mama pikir kamu pasti penting sekali buatnya. Makanya kemarin malam Mama balas pesannya, nanti dia makin nyariin.”
            Aku membelalak, “Eeeh?! W-What did you say to him...?
            Ibu tertawa renyah, “Kamu takut Mama ngomong aneh-aneh ya? Nggak kok... I only told him about what happened with you. Mama juga bilang, kalau yang balas ini ibunya Arsa. Miki tadi pagi bilang, dia titip salam dan kepingin ngobrol sama kamu lagi kalau kamu sudah baikan nanti...”
             Fiuh. Untunglah Ibu tidak main ‘menodong’ macam-macam.
            “Tapi tebakan Mama benar, ‘kan? You like him so much. And vice versa,” Ibu menatapku jenaka. Jujur aku cukup terkejut. Beliau tidak langsung memarahiku atau melarangku berkomunikasi lagi dengan Miki begitu mengetahui sedekat apakah kami. Kesannya malah... Ibu mengharapkan aku bercerita lebih banyak mengenai dia!
            “Yeah,” akhirnya aku menjawab, setelah diiringi kesunyian yang cukup lama. “Umm... nggak masalah ‘kan, kalau aku... suka sama Miki? He’s friend of my friend. Ada teman lama yang pindah ke Jepang dan memperkenalkan dia padaku, Mam.”
            Beliau menggeleng, “Mama nggak marah dengan hal itu, sayang. Mama bebaskan kamu berteman sama siapa saja, ini ‘kan usia remajamu. Yang penting buat Mama adalah kamu jaga diri. Arsa udah gede, Mama nggak bisa terus-terusan ngelarang kayak dulu, Sa. Tapi Mama juga berharap Arsa lebih dewasa dalam bersikap, jangan sering ngambek, jangan sering ngelawan. Mungkin Mama nggak bisa seperti mami-mami lainnya... but I have my own term of happiness and love. Jadi Mama akan selalu berusaha untuk kasih yang terbaik, meskipun dengan cara yang berbeda.”
            Aku terkesima mendengarnya. Belum pernah kami berbicara dari hati ke hati seperti ini. Ibu, yang selama ini kuanggap lebih tak bersahabat dibandingkan Ayah... ternyata seperti inilah ibuku yang sebenarnya. Mama. Mama yang selalu berusaha untuk menjadi nomor satu bagi anaknya. Mama yang tidak pamrih dan tidak egois.
            “Mum... I’m sorry. Aku udah bikin Mama kecewa terus...”
            “Nah, not again,” dia menggoyang-goyangkan jari telunjuknya, “Arsa jangan terus-terusan merasa bersalah. Dan Mama udah maafin Arsa, dari dulu. No need to feel sad about your fault and past anymore. Sekarang, Arsa semangat aja. Biar cepet sembuh. Biar bisa ngobrol bareng Miki lagi. Sesekali Mama dan Papa juga boleh dong, kenalan sama Miki. Maybe he’ll become our son-in-law... who knows?
            Aku hanya tersipu mendengar godaan beliau. Namun di dalam hati, aku merasa benar-benar lega. Antara ibuku dan aku, tak ada lagi penghalang. Tak ada lagi rasa sungkan maupun kemarahan. Karena aku sadar, bagaimanapun juga rupa dan sifatnya, Mama adalah ibuku. Mama adalah kasih itu sendiri.
A thousand men may build a city, but it takes a mother to make a home.
—Unknown

[END]

***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co
***

No comments:

Post a Comment