Ibu pernah bercerita, waktu kecil
aku lebih cepat mengucapkan ‘Pap-pap-pap’ dibandingkan ‘Mam-mam-mam.’ Lalu
nenekku menambahkan, yang terlebih dahulu dipanggil biasanya yang lebih
disayang. Tapi kupikir, aku bukan anak yang tergolong tipe ‘biasa.’ Jadi
mungkin anggapan seperti itu takkan berlaku untukku.
Okelah, saat duduk di bangku
sekolah dasar aku memang jauh lebih dekat dengan ayahku. Karena Ibu bekerja, membuka
bimbingan belajar di rumah untuk pelajaran eksakta. Pertama-tama masuk sekolah,
Ayah dan Ibu masih menjemput aku. Lalu lama kelamaan oleh Ayah saja—karena Ibu sibuk.
Pergi karyawisata, malah lebih sering dengan Nenek. Pergi les piano pun diantar
Ayah, karena beliau sudah pulang kantor sehingga waktu luangnya lebih banyak
dibanding Ibu yang terus-terusan mengajar. Bisa dibilang, seringkali aku malah takut
dengan Ibu. Waktu bercengkerama diantara kami juga tak banyak.
Ia seakan-akan
punya sebuah daftar tak tertulis mengenai apa yang harus kulakukan dan apa yang
tidak. Tidur paling lambat jam setengah 8 malam, tidak boleh makan camilan
kebanyakan, tidak boleh pakai sepatu Mary
Jane kesayanganku ke sekolah meskipun peraturan sekolah membebaskan jenis
sepatu yang dipakai... tidak boleh ini, harus begini-begono, bla bla bla. Intinya: Ibu atau Mama itu
menyebalkan!
Namun di
suatu titik aku mengalami sebuah kejadian yang cukup luar biasa bagi keluarga
kami. Peristiwa yang juga berimbas besar bagi hubungan antara aku dan Ibu.
***
Hari itu
adalah hari yang tak terlupakan, sampai sekarang.
Suatu pagi yang agak mendung di
bulan September, 5 tahun silam. Saat-saat di mana aku lebih menghargai
kehadiran Ibu—yang sehari-hari lebih sering kupanggil Mama—meski sikapku
sendiri tak banyak berubah. Melihat anak semata wayangnya ini memasuki usia
belasan, beliau berusaha lebih keras membagi perhatiannya antara aku, Ayah, dan
juga pekerjaan dengan baik.
“Barang-barang sudah dibawa
semuanya, Sa?” tanya Ibu. Ia meletakkan tupperware
yang berisi nasi dan sup wortel ke dalam
tas bekalku.
“Sudah, Mam,” aku memasukkan buku
terakhir. Buku Matematika, karena PRnya baru kukerjakan pagi-pagi—sebelum
menutup resleting ranselku.
“Jangan lupa kaos kaki masih ada
di jemuran belakang, kamu bisa ambil sendiri ya.”
Aku menjawab dengan anggukan,
sembari menguap lebar-lebar, melangkahkan kaki untuk memngambil barang yang
dimaksud. Entah mengapa Nenek yang memang selalu bangun untuk memasak bagi kami
hanya memperhatikan dalam diam. Beliau mengangkat kedua alisnya, “Kamu
kelihatan ngantuk dan lesu banget, Sa.”
“Hah? Iya ya?” balasku heran. “Tapi
nggak apa-apa kok, Arsa kuat hari ini.”
“Ada pelajaran olahraga, ya? Tidak
usah dipaksakan masuk sekolah Sa, kalau kurang enak badan,” Ibu menimpali
dengan agak cemas.
“Nope, I’m definitely okay, Mum,” sepertinya senyumku bahkan tak mampu
melunturkan rasa khawatir di wajah Ibu maupun Nenek. Yah, jujur saja aku memang
mengantuk. Akibat kemarin mengerjakan tugas kelompok molor sampai pukul 5 sore,
2 jam kemudian aku baru mulai belajar untuk ulangan hari ini. Akhirnya aku
ketiduran dan melupakan PR Matematika. Itulah sebabnya mengapa aku terburu-buru
mengerjakan PR tersebut sebelum sarapan tadi.
“Ya sudah, yang penting kamu
hati-hati ya,” Ibu mengusap-usap punggungku lembut. Seperti yang sudah kukatakan
sebelumnya, beliau tidak lagi ikut mengantarku ke sekolah. Ia memilih untuk
beristirahat di rumah dan mempersiapkan diri sebelum mengajar siang nanti.
“Tidur saja di perjalanan, Sa. Biar tidak
terlalu capek,” tambahnya sebelum kami benar-benar berangkat. Sayangnya, aku
hanya mengangguk pelan, menganggap lalu ucapan tersebut. Kadang aku menyesali
mengapa aku bandel, tidak mau menuruti sarannya. Tebak apa yang kulakukan
selama di perjalanan? Bermain telepon genggam dan berkirim dengan Miki Kurusawa,
pemuda asal negeri matahari terbit yang kukenal 6 bulan lalu. Istilah gaulnya:
dia gebetanku.
*
“Aje gile, kata kelas sebelah materi olahraga hari ini lari bolak-balik
cuy!” seru sahabatku yang cerewet
luar biasa, Lyshia, sambil memain-mainkan botol minumnya. Kami melangkah keluar
area sekolah diselingi obrolan-obrolan santai. Meskipun terpisah, lapangan
olahraga yang dituju sebenarnya hanya terletak di seberang sekolah. Tetap saja
sih, kami harus melewati jalan raya yang cukup besar dan ramai. Tapi kami bisa
sedikit berleha-leha seperti ini karena kami berdua selalu menjadi yang
tercepat berganti pakaian, sehingga banyak murid lain tertinggal di belakang.
“Masa? Aduh, gue males banget,” keluhku,
lalu menguap untuk kesekian kalinya.
“Iyeee, ngapain gue bohong soal beginian sih.” Lyshia menyikutku iseng, lalu tiba-tiba
teringat sesuatu, “By the way, gimana
tuh hubungan lo sama Kurusawa-san? Udah ada kelanjutan signifikan?”
“Still the same... we talk
regulary, chatting, video call. Sejauh ini bokap-nyokap cuma tahu kalo dia temen
biasa aja. Gue nggak pernah bilang Miki teman spesial atau apa, karena Miki
sendiri juga kayaknya belum mau serius banget,” jelasku. Lyshia memang satu
dari segelintir orang yang kuberitahu mengenai Miki. Karena kurasa jarang yang
akan percaya bahwa remaja pendiam sepertiku bisa dekat dengan orang dari luar
negeri sampai sebegitunya. Walau menurutku normal-normal saja karena di masa globalisasi
ini kita lebih mudah terhubung satu sama lain.
Lyshia menggumam mahfum sebelum
kembali bertanya, “Tapi gue masih heran lho. Gimana lo berdua bisa kenal sih?”
“Ah, biasa aja tauk,” aku berkilah. “Kebetulan kok,
temen lama gue yang pindah ke sana tahu kalo gue selalu tertarik budaya Jepang.
Makanya waktu dia kenal Miki, dia cerita tentang gue ke Miki. Dan Miki memang
lagi pingin punya temen dari luar negeri. Ya udah deh, kenalan. Begitu lanjut
sampai sekarang. Lagipula Miki bilang, dia senang karena gue lumayan maklum
dengan bahasa Inggris dia yang berantakan. Nggak kayak orang lain yang suka
menertawakan aksen anehnya.”
“Ih, kayak cerita anime aja deh, Sa! Terus, terus,
apalagi?”
Kami larut dalam obrolan, semakin
asyik dengan celotehan kami, sampai tibalah saat kami harus melewati jalan raya
yang ramai itu. Satu hal penting lagi yang harus kau tahu ketahui. Aku tidak
kuat berjalan jauh atau berlari terlalu cepat, sebab bentuk telapak kakiku yang
sangat rata membuatku mudah merasa pegal. Sama seperti Ibu, kelemahan fisik
beliau tampaknya menurun padaku. Karenanya aku membiarkan Lyshia mendahuluiku
menyeberang, meski akhirnya kucoba untuk berlari menyusul sahabatku itu. Tapi entah
mengapa ketika aku mempercepat langkah, pandanganku mengabur sepersekian detik
dan kelopak mataku terasa berat sekali. Aku tak melihat ada sesuatu yang bergerak
menuju ke arahku dengan kecepatan tinggi.
“ARSA!”
Jeritan Lyshia bercampur dengan
suara teman-temanku yang lain terdengar samar sebelum aku merasakan hantaman
keras membuatku terjerembab ke aspal. Semuanya terjadi terlalu cepat. Decitan roda, suara pintu dibanting dengan keras, banyak
langkah, dan sakit yang menyerang seluruh tubuhku dalam sekejap. Tapi di saat
seperti itu pun aku masih mampu tertawa getir ketika Lyshia mendekat serta memangil-manggil
namaku cemas. Aku masih bisa berbisik pelan, sedikit meracau, “Ya ampun. Emang
bener kata lo, Lys. Emang gue kayak tokoh anime
banget, kecelakaan klise begini.”
Bahkan ketika sudut mataku
melihat sesuatu berwarna merah pekat yang mengalir membasahi jalanan, aku malah
terbayang wajah khawatir Ibu tadi pagi. Ah, Ibu... Mama... apa yang akan
dikatakannya melihat putri yang ia sayangi sepenuh hati mengalami sesuatu
seperti ini. Mungkin beliau akan menangis. Mungkin beliau akan marah. Atau
mungkin, Ibu malah menertawakanku nanti, sebab aku mencelakakan diri sendiri
hanya karena satu hal sepele: mengantuk.
Sungguh alasan yang tidak lucu
bukan, untuk tertabrak mobil?
*
Aku tidak merasakan apapun.
Not a single thing, sampai aku terbangun keesokan harinya di
ranjang rumah sakit yang berbau antiseptik seperti biasanya. Pemandangan yang
pertama kulihat adalah selang bergelimangan di mana-mana. Lalu perban. Dan tak
ketinggalan, gips yang membungkus tangan kanan... serta kaki kananku. Dengan
tangan kiri yang juga disusupi jarum infus, aku nyaris tak bisa melakukan
apa-apa selain menggerakkan bola mata dan bibirku.
Aku melihat Ibu. Ayah juga.
Nenek. Kakek. Semua anggota keluarga intiku ada di sini.
Kuhela nafas dengan berat hati. Aku
bisa mendengar Ayah yang berdiri di sisi kananku mengucapkan suatu kekagetan,
namun suara beliau tak terlalu jelas. Sepertinya pengaruh obat membuat kemampuan
panca inderaku menurun. Tapi yang aku tahu, Ayah menangis—tanpa suara.
Sementara Ibu berdiri di sisi kiriku, mengusap-usap rambutku perlahan. Wajahnya
lembut, sedikit sendu dan penuh kesedihan. Namun selalu ada pancaran harapan dan
ketegaran di sana. Entahlah, tiba-tiba saja aku sadar bahwa selama ini aku tak
pernah memerhatikan bagaimana raut muka Ibu. Bagaimana sedihnya beliau ketika
aku memilih untuk melanggar sarannya, bagaimana kecewanya beliau saat aku
melawan perkataannya...
Aku jarang menatap Ibu.
Aku terlalu takut pada kedua iris
cokelatnya yang tajam seperti elang, sehingga aku tak bisa—dan tak mau pula untuk
melihat dirinya sebagai ibu. Sebagai
orang yang melahirkanku, yang mengerti tentang diriku, yang selalu menjagaku
dan memperjuangkan banyak hal untukku. Di momen itulah aku betul-betul
terpukul. Sebab selama ini aku tak pernah menyayangi Ibu seutuhnya, dan hanya
menganggap peran penting yang dipegang beliau sebagai suatu hal yang biasa.
“Mam...” bisikku lunglai sembari
memiringkan kepala ke arah beliau. “...I’m
sorry.”
“It doesn’t matter,” ia tersenyum sumringah. “Yang penting kamu
sudah sadar sekarang, ya, Nak. Jangan pikirkan hal-hal berat lagi. Nanti Papa
panggilin dokternya dulu, ya.”
Dan hari
itu dihabiskan dengan sesi pengecekan bersama dokter, lalu Ibu menyuapiku
makanan—meski hanya sedikit yang masuk karena aku sangat tidak bernafsu makan—kemudian
menemaniku menonton televisi. Ayah, Nenek, dan Kakek pulang ke rumah untuk
mengambil beberapa barang sebelum Ayah sendiri kembali dan membawa tas-tas
besar berisi baju ganti. Ya, bisa dipastikan mereka akan menginap karena dokter
memperkirakan aku baru boleh pulang seminggu
lagi, belum terhitung waktu untuk terapi agar aku bisa berjalan seperti
sediakala.
Sementara aku masih berusaha
mencerna apa yang terjadi, Ibu mengalihkan topik ke hal-hal yang menggembirakan.
Beliau berkomentar mengenai gipsku yang nanti bisa digambari kalau
sewaktu-waktu aku bosan, lalu memberitahukan bahwa Lyshia terus saja menelepon
ke ponselnya dan menanyakan kabarku. Sesekali ia melontarkan candaan yang mampu
membuatku tersenyum kecil. Aku tak bisa memaksakan diri, rasanya susah sekali
tertawa dengan kondisi masih mengawang-awang akibat obat penahan rasa sakit.
Ibuku mungkin tak seperti wanita
metropolitan kebanyakan, yang berpenampilan mencolok dengan baju bermerek serta
wajah dipoles dandanan. Beliau lebih terkesan boyish, memiliki rambut sebahu yang agak berantakan, kantung mata
yang jelas terlihat, serta jerawat-jerawat kecil yang menutupi pipinya akibat hormon
setelah melahirkanku. Tapi ia jelas punya sesuatu yang jarang kutemui di dalam
diri ibu-ibu zaman sekarang. Ibu punya kesabaran ekstra dan kasih sayang
berlimpah yang selalu dicurahkannya pada setiap orang. Terlebih kepada putri
tunggalnya yang sangat keras kepala ini, yaitu aku.
*
Hari
keempat, Ibu membicarakan Miki. Ayah sudah tertidur dengan nyenyaknya dan kami
masih menonton televisi. Entah mengapa aku insomnia. Mungkin karena terlalu
lama tidur siang tadi.
“Miki juga
terus-terusan mengirim email ke
hapemu. You sure have a strong
relationship with him, right?”
“Um—terus Mama
baca email dia ya?” aku meringis dan
balik bertanya.
“Habis
kelihatannya dia sangat khawatir,” Ibu beralasan, “Mama sih nggak paham sepenuh
bahasa Inggris dia. Grammarnya agak berantakan deh. Tapi Mama mengerti maksud
hatinya. Dia takut kamu kenapa-kenapa. And
he used lot of affection words there... jadi Mama pikir kamu pasti penting
sekali buatnya. Makanya kemarin malam Mama balas pesannya, nanti dia makin
nyariin.”
Aku
membelalak, “Eeeh?! W-What did you say to
him...?”
Ibu tertawa
renyah, “Kamu takut Mama ngomong aneh-aneh ya? Nggak kok... I only told him about what happened with
you. Mama juga bilang, kalau yang balas ini ibunya Arsa. Miki tadi pagi
bilang, dia titip salam dan kepingin ngobrol sama kamu lagi kalau kamu sudah
baikan nanti...”
Fiuh. Untunglah Ibu tidak main ‘menodong’
macam-macam.
“Tapi
tebakan Mama benar, ‘kan? You like him so
much. And vice versa,” Ibu menatapku jenaka. Jujur aku cukup terkejut.
Beliau tidak langsung memarahiku atau melarangku berkomunikasi lagi dengan Miki
begitu mengetahui sedekat apakah kami. Kesannya malah... Ibu mengharapkan aku
bercerita lebih banyak mengenai dia!
“Yeah,” akhirnya aku menjawab, setelah
diiringi kesunyian yang cukup lama. “Umm... nggak masalah ‘kan, kalau aku...
suka sama Miki? He’s friend of my friend.
Ada teman lama yang pindah ke Jepang dan memperkenalkan dia padaku, Mam.”
Beliau
menggeleng, “Mama nggak marah dengan hal itu, sayang. Mama bebaskan kamu
berteman sama siapa saja, ini ‘kan usia remajamu. Yang penting buat Mama adalah
kamu jaga diri. Arsa udah gede, Mama nggak bisa terus-terusan ngelarang kayak
dulu, Sa. Tapi Mama juga berharap Arsa lebih dewasa dalam bersikap, jangan
sering ngambek, jangan sering ngelawan. Mungkin Mama nggak bisa seperti
mami-mami lainnya... but I have my own
term of happiness and love. Jadi Mama akan selalu berusaha untuk kasih yang
terbaik, meskipun dengan cara yang berbeda.”
Aku
terkesima mendengarnya. Belum pernah kami berbicara dari hati ke hati seperti
ini. Ibu, yang selama ini kuanggap lebih tak bersahabat dibandingkan Ayah...
ternyata seperti inilah ibuku yang sebenarnya. Mama. Mama yang selalu berusaha untuk menjadi nomor satu bagi
anaknya. Mama yang tidak pamrih dan tidak egois.
“Mum... I’m sorry. Aku udah bikin Mama
kecewa terus...”
“Nah, not again,” dia menggoyang-goyangkan
jari telunjuknya, “Arsa jangan terus-terusan merasa bersalah. Dan Mama udah
maafin Arsa, dari dulu. No need to feel
sad about your fault and past anymore. Sekarang, Arsa semangat aja. Biar
cepet sembuh. Biar bisa ngobrol bareng Miki lagi. Sesekali Mama dan Papa juga
boleh dong, kenalan sama Miki. Maybe he’ll
become our son-in-law... who knows?”
Aku hanya
tersipu mendengar godaan beliau. Namun di dalam hati, aku merasa benar-benar
lega. Antara ibuku dan aku, tak ada lagi penghalang. Tak ada lagi rasa sungkan
maupun kemarahan. Karena aku sadar, bagaimanapun juga rupa dan sifatnya, Mama
adalah ibuku. Mama adalah kasih itu sendiri.
A thousand men may build a city, but it takes a mother to make a home.
—Unknown
[END]
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co
***
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co
***
No comments:
Post a Comment