Hello, everyone!
Long time no see.
Yeah, I've been inactive from this blog for almost 2 years.
Years come and go, I've graduated from school and now continuing my study in college.
Well, surely I still love writing and blogging. But I have new hobbies now, new activities, and new business to be done (I have my own online shop since last year). And to support those things, I've decided to move on to Tumblr. Not only this, I have a new one.
Don't worry though, I'll keep this blog for and maybe if I have more spare time, I will write again here or updating some info.
So, my new blog is HERE. It'll be regularly updated with photos, writings, in general: literature-related posts, aesthetic stuff, and even cosplay photos. Hopefully my contents are still informative and entertaining, hehe.
(Also, yep, I prefer using alias these days)
Don't forget to follow if you have Tumblr too! Or it's okay if you only passing by and read my writings, hehe. Anything positive would be appreciated.
Thanks for supports and comments from all of you these years ~
See you when I see you <3
Pages
"There is no path to peace. Peace is the path."
(Mahatma Gandhi)
(Mahatma Gandhi)
Thursday 4 May 2017
Monday 14 December 2015
Muqin De Ai [Entry for NulisBuku #DearMama Project]
Ibu pernah bercerita, waktu kecil
aku lebih cepat mengucapkan ‘Pap-pap-pap’ dibandingkan ‘Mam-mam-mam.’ Lalu
nenekku menambahkan, yang terlebih dahulu dipanggil biasanya yang lebih
disayang. Tapi kupikir, aku bukan anak yang tergolong tipe ‘biasa.’ Jadi
mungkin anggapan seperti itu takkan berlaku untukku.
Okelah, saat duduk di bangku
sekolah dasar aku memang jauh lebih dekat dengan ayahku. Karena Ibu bekerja, membuka
bimbingan belajar di rumah untuk pelajaran eksakta. Pertama-tama masuk sekolah,
Ayah dan Ibu masih menjemput aku. Lalu lama kelamaan oleh Ayah saja—karena Ibu sibuk.
Pergi karyawisata, malah lebih sering dengan Nenek. Pergi les piano pun diantar
Ayah, karena beliau sudah pulang kantor sehingga waktu luangnya lebih banyak
dibanding Ibu yang terus-terusan mengajar. Bisa dibilang, seringkali aku malah takut
dengan Ibu. Waktu bercengkerama diantara kami juga tak banyak.
Ia seakan-akan
punya sebuah daftar tak tertulis mengenai apa yang harus kulakukan dan apa yang
tidak. Tidur paling lambat jam setengah 8 malam, tidak boleh makan camilan
kebanyakan, tidak boleh pakai sepatu Mary
Jane kesayanganku ke sekolah meskipun peraturan sekolah membebaskan jenis
sepatu yang dipakai... tidak boleh ini, harus begini-begono, bla bla bla. Intinya: Ibu atau Mama itu
menyebalkan!
Namun di
suatu titik aku mengalami sebuah kejadian yang cukup luar biasa bagi keluarga
kami. Peristiwa yang juga berimbas besar bagi hubungan antara aku dan Ibu.
***
Hari itu
adalah hari yang tak terlupakan, sampai sekarang.
Suatu pagi yang agak mendung di
bulan September, 5 tahun silam. Saat-saat di mana aku lebih menghargai
kehadiran Ibu—yang sehari-hari lebih sering kupanggil Mama—meski sikapku
sendiri tak banyak berubah. Melihat anak semata wayangnya ini memasuki usia
belasan, beliau berusaha lebih keras membagi perhatiannya antara aku, Ayah, dan
juga pekerjaan dengan baik.
“Barang-barang sudah dibawa
semuanya, Sa?” tanya Ibu. Ia meletakkan tupperware
yang berisi nasi dan sup wortel ke dalam
tas bekalku.
“Sudah, Mam,” aku memasukkan buku
terakhir. Buku Matematika, karena PRnya baru kukerjakan pagi-pagi—sebelum
menutup resleting ranselku.
“Jangan lupa kaos kaki masih ada
di jemuran belakang, kamu bisa ambil sendiri ya.”
Aku menjawab dengan anggukan,
sembari menguap lebar-lebar, melangkahkan kaki untuk memngambil barang yang
dimaksud. Entah mengapa Nenek yang memang selalu bangun untuk memasak bagi kami
hanya memperhatikan dalam diam. Beliau mengangkat kedua alisnya, “Kamu
kelihatan ngantuk dan lesu banget, Sa.”
“Hah? Iya ya?” balasku heran. “Tapi
nggak apa-apa kok, Arsa kuat hari ini.”
“Ada pelajaran olahraga, ya? Tidak
usah dipaksakan masuk sekolah Sa, kalau kurang enak badan,” Ibu menimpali
dengan agak cemas.
“Nope, I’m definitely okay, Mum,” sepertinya senyumku bahkan tak mampu
melunturkan rasa khawatir di wajah Ibu maupun Nenek. Yah, jujur saja aku memang
mengantuk. Akibat kemarin mengerjakan tugas kelompok molor sampai pukul 5 sore,
2 jam kemudian aku baru mulai belajar untuk ulangan hari ini. Akhirnya aku
ketiduran dan melupakan PR Matematika. Itulah sebabnya mengapa aku terburu-buru
mengerjakan PR tersebut sebelum sarapan tadi.
“Ya sudah, yang penting kamu
hati-hati ya,” Ibu mengusap-usap punggungku lembut. Seperti yang sudah kukatakan
sebelumnya, beliau tidak lagi ikut mengantarku ke sekolah. Ia memilih untuk
beristirahat di rumah dan mempersiapkan diri sebelum mengajar siang nanti.
“Tidur saja di perjalanan, Sa. Biar tidak
terlalu capek,” tambahnya sebelum kami benar-benar berangkat. Sayangnya, aku
hanya mengangguk pelan, menganggap lalu ucapan tersebut. Kadang aku menyesali
mengapa aku bandel, tidak mau menuruti sarannya. Tebak apa yang kulakukan
selama di perjalanan? Bermain telepon genggam dan berkirim dengan Miki Kurusawa,
pemuda asal negeri matahari terbit yang kukenal 6 bulan lalu. Istilah gaulnya:
dia gebetanku.
*
“Aje gile, kata kelas sebelah materi olahraga hari ini lari bolak-balik
cuy!” seru sahabatku yang cerewet
luar biasa, Lyshia, sambil memain-mainkan botol minumnya. Kami melangkah keluar
area sekolah diselingi obrolan-obrolan santai. Meskipun terpisah, lapangan
olahraga yang dituju sebenarnya hanya terletak di seberang sekolah. Tetap saja
sih, kami harus melewati jalan raya yang cukup besar dan ramai. Tapi kami bisa
sedikit berleha-leha seperti ini karena kami berdua selalu menjadi yang
tercepat berganti pakaian, sehingga banyak murid lain tertinggal di belakang.
“Masa? Aduh, gue males banget,” keluhku,
lalu menguap untuk kesekian kalinya.
“Iyeee, ngapain gue bohong soal beginian sih.” Lyshia menyikutku iseng, lalu tiba-tiba
teringat sesuatu, “By the way, gimana
tuh hubungan lo sama Kurusawa-san? Udah ada kelanjutan signifikan?”
“Still the same... we talk
regulary, chatting, video call. Sejauh ini bokap-nyokap cuma tahu kalo dia temen
biasa aja. Gue nggak pernah bilang Miki teman spesial atau apa, karena Miki
sendiri juga kayaknya belum mau serius banget,” jelasku. Lyshia memang satu
dari segelintir orang yang kuberitahu mengenai Miki. Karena kurasa jarang yang
akan percaya bahwa remaja pendiam sepertiku bisa dekat dengan orang dari luar
negeri sampai sebegitunya. Walau menurutku normal-normal saja karena di masa globalisasi
ini kita lebih mudah terhubung satu sama lain.
Lyshia menggumam mahfum sebelum
kembali bertanya, “Tapi gue masih heran lho. Gimana lo berdua bisa kenal sih?”
“Ah, biasa aja tauk,” aku berkilah. “Kebetulan kok,
temen lama gue yang pindah ke sana tahu kalo gue selalu tertarik budaya Jepang.
Makanya waktu dia kenal Miki, dia cerita tentang gue ke Miki. Dan Miki memang
lagi pingin punya temen dari luar negeri. Ya udah deh, kenalan. Begitu lanjut
sampai sekarang. Lagipula Miki bilang, dia senang karena gue lumayan maklum
dengan bahasa Inggris dia yang berantakan. Nggak kayak orang lain yang suka
menertawakan aksen anehnya.”
“Ih, kayak cerita anime aja deh, Sa! Terus, terus,
apalagi?”
Kami larut dalam obrolan, semakin
asyik dengan celotehan kami, sampai tibalah saat kami harus melewati jalan raya
yang ramai itu. Satu hal penting lagi yang harus kau tahu ketahui. Aku tidak
kuat berjalan jauh atau berlari terlalu cepat, sebab bentuk telapak kakiku yang
sangat rata membuatku mudah merasa pegal. Sama seperti Ibu, kelemahan fisik
beliau tampaknya menurun padaku. Karenanya aku membiarkan Lyshia mendahuluiku
menyeberang, meski akhirnya kucoba untuk berlari menyusul sahabatku itu. Tapi entah
mengapa ketika aku mempercepat langkah, pandanganku mengabur sepersekian detik
dan kelopak mataku terasa berat sekali. Aku tak melihat ada sesuatu yang bergerak
menuju ke arahku dengan kecepatan tinggi.
“ARSA!”
Jeritan Lyshia bercampur dengan
suara teman-temanku yang lain terdengar samar sebelum aku merasakan hantaman
keras membuatku terjerembab ke aspal. Semuanya terjadi terlalu cepat. Decitan roda, suara pintu dibanting dengan keras, banyak
langkah, dan sakit yang menyerang seluruh tubuhku dalam sekejap. Tapi di saat
seperti itu pun aku masih mampu tertawa getir ketika Lyshia mendekat serta memangil-manggil
namaku cemas. Aku masih bisa berbisik pelan, sedikit meracau, “Ya ampun. Emang
bener kata lo, Lys. Emang gue kayak tokoh anime
banget, kecelakaan klise begini.”
Bahkan ketika sudut mataku
melihat sesuatu berwarna merah pekat yang mengalir membasahi jalanan, aku malah
terbayang wajah khawatir Ibu tadi pagi. Ah, Ibu... Mama... apa yang akan
dikatakannya melihat putri yang ia sayangi sepenuh hati mengalami sesuatu
seperti ini. Mungkin beliau akan menangis. Mungkin beliau akan marah. Atau
mungkin, Ibu malah menertawakanku nanti, sebab aku mencelakakan diri sendiri
hanya karena satu hal sepele: mengantuk.
Sungguh alasan yang tidak lucu
bukan, untuk tertabrak mobil?
*
Aku tidak merasakan apapun.
Not a single thing, sampai aku terbangun keesokan harinya di
ranjang rumah sakit yang berbau antiseptik seperti biasanya. Pemandangan yang
pertama kulihat adalah selang bergelimangan di mana-mana. Lalu perban. Dan tak
ketinggalan, gips yang membungkus tangan kanan... serta kaki kananku. Dengan
tangan kiri yang juga disusupi jarum infus, aku nyaris tak bisa melakukan
apa-apa selain menggerakkan bola mata dan bibirku.
Aku melihat Ibu. Ayah juga.
Nenek. Kakek. Semua anggota keluarga intiku ada di sini.
Kuhela nafas dengan berat hati. Aku
bisa mendengar Ayah yang berdiri di sisi kananku mengucapkan suatu kekagetan,
namun suara beliau tak terlalu jelas. Sepertinya pengaruh obat membuat kemampuan
panca inderaku menurun. Tapi yang aku tahu, Ayah menangis—tanpa suara.
Sementara Ibu berdiri di sisi kiriku, mengusap-usap rambutku perlahan. Wajahnya
lembut, sedikit sendu dan penuh kesedihan. Namun selalu ada pancaran harapan dan
ketegaran di sana. Entahlah, tiba-tiba saja aku sadar bahwa selama ini aku tak
pernah memerhatikan bagaimana raut muka Ibu. Bagaimana sedihnya beliau ketika
aku memilih untuk melanggar sarannya, bagaimana kecewanya beliau saat aku
melawan perkataannya...
Aku jarang menatap Ibu.
Aku terlalu takut pada kedua iris
cokelatnya yang tajam seperti elang, sehingga aku tak bisa—dan tak mau pula untuk
melihat dirinya sebagai ibu. Sebagai
orang yang melahirkanku, yang mengerti tentang diriku, yang selalu menjagaku
dan memperjuangkan banyak hal untukku. Di momen itulah aku betul-betul
terpukul. Sebab selama ini aku tak pernah menyayangi Ibu seutuhnya, dan hanya
menganggap peran penting yang dipegang beliau sebagai suatu hal yang biasa.
“Mam...” bisikku lunglai sembari
memiringkan kepala ke arah beliau. “...I’m
sorry.”
“It doesn’t matter,” ia tersenyum sumringah. “Yang penting kamu
sudah sadar sekarang, ya, Nak. Jangan pikirkan hal-hal berat lagi. Nanti Papa
panggilin dokternya dulu, ya.”
Dan hari
itu dihabiskan dengan sesi pengecekan bersama dokter, lalu Ibu menyuapiku
makanan—meski hanya sedikit yang masuk karena aku sangat tidak bernafsu makan—kemudian
menemaniku menonton televisi. Ayah, Nenek, dan Kakek pulang ke rumah untuk
mengambil beberapa barang sebelum Ayah sendiri kembali dan membawa tas-tas
besar berisi baju ganti. Ya, bisa dipastikan mereka akan menginap karena dokter
memperkirakan aku baru boleh pulang seminggu
lagi, belum terhitung waktu untuk terapi agar aku bisa berjalan seperti
sediakala.
Sementara aku masih berusaha
mencerna apa yang terjadi, Ibu mengalihkan topik ke hal-hal yang menggembirakan.
Beliau berkomentar mengenai gipsku yang nanti bisa digambari kalau
sewaktu-waktu aku bosan, lalu memberitahukan bahwa Lyshia terus saja menelepon
ke ponselnya dan menanyakan kabarku. Sesekali ia melontarkan candaan yang mampu
membuatku tersenyum kecil. Aku tak bisa memaksakan diri, rasanya susah sekali
tertawa dengan kondisi masih mengawang-awang akibat obat penahan rasa sakit.
Ibuku mungkin tak seperti wanita
metropolitan kebanyakan, yang berpenampilan mencolok dengan baju bermerek serta
wajah dipoles dandanan. Beliau lebih terkesan boyish, memiliki rambut sebahu yang agak berantakan, kantung mata
yang jelas terlihat, serta jerawat-jerawat kecil yang menutupi pipinya akibat hormon
setelah melahirkanku. Tapi ia jelas punya sesuatu yang jarang kutemui di dalam
diri ibu-ibu zaman sekarang. Ibu punya kesabaran ekstra dan kasih sayang
berlimpah yang selalu dicurahkannya pada setiap orang. Terlebih kepada putri
tunggalnya yang sangat keras kepala ini, yaitu aku.
*
Hari
keempat, Ibu membicarakan Miki. Ayah sudah tertidur dengan nyenyaknya dan kami
masih menonton televisi. Entah mengapa aku insomnia. Mungkin karena terlalu
lama tidur siang tadi.
“Miki juga
terus-terusan mengirim email ke
hapemu. You sure have a strong
relationship with him, right?”
“Um—terus Mama
baca email dia ya?” aku meringis dan
balik bertanya.
“Habis
kelihatannya dia sangat khawatir,” Ibu beralasan, “Mama sih nggak paham sepenuh
bahasa Inggris dia. Grammarnya agak berantakan deh. Tapi Mama mengerti maksud
hatinya. Dia takut kamu kenapa-kenapa. And
he used lot of affection words there... jadi Mama pikir kamu pasti penting
sekali buatnya. Makanya kemarin malam Mama balas pesannya, nanti dia makin
nyariin.”
Aku
membelalak, “Eeeh?! W-What did you say to
him...?”
Ibu tertawa
renyah, “Kamu takut Mama ngomong aneh-aneh ya? Nggak kok... I only told him about what happened with
you. Mama juga bilang, kalau yang balas ini ibunya Arsa. Miki tadi pagi
bilang, dia titip salam dan kepingin ngobrol sama kamu lagi kalau kamu sudah
baikan nanti...”
Fiuh. Untunglah Ibu tidak main ‘menodong’
macam-macam.
“Tapi
tebakan Mama benar, ‘kan? You like him so
much. And vice versa,” Ibu menatapku jenaka. Jujur aku cukup terkejut.
Beliau tidak langsung memarahiku atau melarangku berkomunikasi lagi dengan Miki
begitu mengetahui sedekat apakah kami. Kesannya malah... Ibu mengharapkan aku
bercerita lebih banyak mengenai dia!
“Yeah,” akhirnya aku menjawab, setelah
diiringi kesunyian yang cukup lama. “Umm... nggak masalah ‘kan, kalau aku...
suka sama Miki? He’s friend of my friend.
Ada teman lama yang pindah ke Jepang dan memperkenalkan dia padaku, Mam.”
Beliau
menggeleng, “Mama nggak marah dengan hal itu, sayang. Mama bebaskan kamu
berteman sama siapa saja, ini ‘kan usia remajamu. Yang penting buat Mama adalah
kamu jaga diri. Arsa udah gede, Mama nggak bisa terus-terusan ngelarang kayak
dulu, Sa. Tapi Mama juga berharap Arsa lebih dewasa dalam bersikap, jangan
sering ngambek, jangan sering ngelawan. Mungkin Mama nggak bisa seperti
mami-mami lainnya... but I have my own
term of happiness and love. Jadi Mama akan selalu berusaha untuk kasih yang
terbaik, meskipun dengan cara yang berbeda.”
Aku
terkesima mendengarnya. Belum pernah kami berbicara dari hati ke hati seperti
ini. Ibu, yang selama ini kuanggap lebih tak bersahabat dibandingkan Ayah...
ternyata seperti inilah ibuku yang sebenarnya. Mama. Mama yang selalu berusaha untuk menjadi nomor satu bagi
anaknya. Mama yang tidak pamrih dan tidak egois.
“Mum... I’m sorry. Aku udah bikin Mama
kecewa terus...”
“Nah, not again,” dia menggoyang-goyangkan
jari telunjuknya, “Arsa jangan terus-terusan merasa bersalah. Dan Mama udah
maafin Arsa, dari dulu. No need to feel
sad about your fault and past anymore. Sekarang, Arsa semangat aja. Biar
cepet sembuh. Biar bisa ngobrol bareng Miki lagi. Sesekali Mama dan Papa juga
boleh dong, kenalan sama Miki. Maybe he’ll
become our son-in-law... who knows?”
Aku hanya
tersipu mendengar godaan beliau. Namun di dalam hati, aku merasa benar-benar
lega. Antara ibuku dan aku, tak ada lagi penghalang. Tak ada lagi rasa sungkan
maupun kemarahan. Karena aku sadar, bagaimanapun juga rupa dan sifatnya, Mama
adalah ibuku. Mama adalah kasih itu sendiri.
A thousand men may build a city, but it takes a mother to make a home.
—Unknown
[END]
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co
***
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co
***
Tuesday 15 April 2014
NEECHAN's XINGFU
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
###
###
“Kau siap, Chi?”
Makhluk kecil itu diletakkan di atas
telapak tangan Chierru, membuatnya merasa geli karena sapuan sirip mereka yang
bersentuhan dengan kulitnya. Susah payah pemuda mungil itu menjaga keseimbangan
tangannya agar amfibia tersebut tidak jatuh ke pasir lembut yang mulai menyerap
panas dari matahari.
“Tentu saja,” Chierru menolehkan
kepalanya sedikit ke sumber suara yang bertanya tadi. “Lei pasti juga tak sabar
untuk merasakan pengalaman berenang perdananya.”
Perempuan berumur 20 tahunan dengan
rambut hitam legam sebahu dan bola mata sepekat teh hangat itu mengangkat alis,
“Lei? Kau menamakannya Lei?”
“Hu-um.”
“Tapi kau ‘kan tak tahu dia itu
jantan atau betina.”
Chierru terdiam sesaat,
jari-jemarinya mengusap cangkang bayi penyu tersebut. Ia mampu merasakan
garis-garis yang membentuk pola khas di sana.
“Hmmm, kalau dia jantan, namanya
tetap Lei. Kalau dia betina, namanya akan menjadi Leia,” ucapan diplomatisnya
membuat gadis tadi menyunggingkan senyum untuk sesaat. “Kau sendiri tidak memberi
penyumu nama, Aleth-nee?”
“Shakespeare pernah berkata—”
“Apalah arti sebuah nama. Iya, ‘kan?” potong
Chierru. Ia tahu betul bagaimana sang kakak angkat memiliki obsesi—yang
menurutnya agak langka bagi generasi zaman sekarang—terhadap sastrawan lama, termasuk
pencipta Romeo & Juliet itu.
“Chi-kun memang pintar,” sembari tersenyum jenaka, sebelah tangan Aleth
mengusap lembut kepala Chierru. “Yah, bagiku tak apa jika dia tak punya nama,
yang penting anak ini bisa menghuni rumahnya dengan tenang selama bertahun-tahun,
bahkan berabad-abad, dan menjadi harta ekosistem kita yang berharga.”
Riuh rendah para turis
mancanegara dan domestik yang ikut berbaris di tepi pantai bersama mereka
seakan menjadi background music yang
menyenangkan. Bau angin laut yang berhembus menjadi pelengkap sempurna untuk
sebuah kenyamanan pantai, dan keduanya tak dapat berhenti menimang bayi penyu
yang telah diberikan untuk dilepas nanti secara bersamaan. Air muka Chierru
tampak begitu larut dalam ceria, meski tak pernah menampilkannya melalui
senyuman yang spesifik. Dalam hati Aleth berterima kasih pada rekomendasi yang
diberikan teman-teman sekantornya. The Bay Bali ternyata bukan tempat wisata
biasa seperti yang sudah-sudah ia kunjungi sebelumnya di Pulau Dewata, tempat
ini menyuguhkan banyak fasilitas yang menomorsatukan pelanggan dan aktivitas
menarik. Termasuk kegiatan melepaskan bayi penyu ke lautan lepas yang akan
mereka lakukan. Tak sia-sia pula tabungan yang telah Aleth sisihkan dari
gajinya sejak beberapa bulan yang lalu untuk perjalanan wisata selama seminggu
penuh ini.
“Aleth,” Chierru memulai
pembicaraan lagi, berusaha untuk mengalahkan keramaian yang membingkai suasana
sekitarnya, “Kau bilang, nama mereka itu
tidak penting. Tapi apakah... bagi mereka... seorang ibu itu juga tak penting?
Apakah mereka merasa kehilangan ketika harus pergi ke alam bebas tanpa sosok
yang telah membuat mereka ada di dunia ini? Apakah... sang ibu penyu juga
merasakan hal yang sama? Apakah mereka punya... kebahagiaan dalam hidup mereka
yang singkat itu, even if they don’t know
where are they come from?”
Seakan-akan tertarik akan
pertanyaan tersebut, Lei menoleh sedikit, berusaha melihat lebih jelas manusia
yang memegangnya sekarang. Aleth menggigit bibir. Sifat kritis Chierru yang
bisa muncul kapan saja sering membuatnya bingung, tapi di sisi lain ia juga
kagum pada kemampuan berpikir Chierru yang begitu idealis. Umur 13 tahun tak
membuatnya menjadi anak laki-laki ‘stereotip,’ dengan imajinasi serta pikiran
yang tidak bisa jauh dari kata ‘bermain.’ Sebab Aleth tahu bagaimana sosok
orang tua begitu dipertanyakan oleh adiknya, bagaimana Chierru selalu menceritakan
bagaimana mereka hadir dalam mimpi berkabutnya, dan bagaimana hati kecilnya
yang masih remuk akan kehilangan pegangan hidup.
“Kamu tidak senang dengan liburan
kita kali ini?”
“Jangan mengalihkan topik, neechan.”
“Karena di manapun kita berada,
ujung-ujungnya kamu akan menanyakan hal itu lagi,” Aleth mendesah, lelah.
“Memangnya tak boleh?”
Memori Aleth baru me-recall sifat keras kepala seorang
Chierru. “Bukannya begitu. Saat kita seharusnya melupakan persoalan yang
terjadi setiap hari dan kita bisa berdua melakukan perjalanan spesial untuk
menyegarkan pikiran... you keep asking everything about parents and
happiness. Seharusnya kamu rileks. Let
it flow. Apa kamu tidak jenuh setiap kali harus memikirkan hal-hal berat?”
“Manusia tak boleh bosan bertanya
dan berpikir sampai ia mendapatkan jawabannya,” Chierru mendekap Lei lebih
erat.
“Terlalu banyak menganalisa juga
akan membuat otakmu meledak.”
“Can you just answer my question, please?!” Chierru tak sadar bahwa
suaranya meninggi satu oktaf. Beberapa orang menoleh penasaran mendengar
perdebatan kecil diantara keduanya, namun Chierru tak peduli. Mungkin ia pun tak bisa peduli, toh ekspresi mereka takkan
terbaca olehnya.
“Okay, okay,” Aleth masih berusaha untuk mengontrol emosi, meski
hatinya agak dongkol karena Chierru selalu saja memaksa, “Aku akan menjawab
pertanyaanmu, Chierru Niandri. Kalau kau tak puas, terserah. Kau boleh marah
padaku, kau boleh mendiamkanku, yang penting aku sudah melakukan apa yang kau
minta. Untukku, kebahagiaan itu bukan hanya berkumpul memiliki keluarga atau
saudara kandung. Setiap insan akan merasa bahagia jika bisa mensyukuri apapun
yang telah dilimpahkan Tuhan padanya, baik petaka ataupun keberuntungan. It is well with my soul. Sebab dibalik
semua itu pasti ada kebahagiaan lebih besar yang Tuhan ‘sembunyikan,’ kebahagiaan
abadi yang akan diberikanNya pada saat yang tepat.”
Mendengar penjelasan panjang Aleth,
iris kosong Chierru langsung meredup.
Perlahan diulurkannya tangan, meletakkan
Lei di tangan kakaknya, “Aku ingin kembali ke kamar sendiri.”
Kemudian ia berjongkok,
merogoh-rogoh sesuatu yang terbenam di dalam pasir. Sebuah tongkat panjang,
dengan tali terikat di bagian atasnya. Setelah menyangkutkan tali tersebut di
pergelangan tangannya, Chierru berdiri, berbalik dari hadapan Aleth tanpa
mengatakan apa-apa lagi. Tongkat itu digerakkan ke kanan dan kiri seiring
langkahnya yang mulai menjauhi bibir pantai, menjadi radar agar dirinya tak
tersandung.
Ya, Chierru adalah seorang anak
keturunan Jepang yang menderita tunanetra sejak ia menghirup nafas pertamanya
di dunia. Dan seperti kisah Lewis dalam film Meet The Robinsons, ia dibuang oleh orang yang seharusnya
memberikan kasih sayang kepadanya. Terbungkus
oleh kain tebal dan dimasukkan ke dalam sebuah kardus, Chierru ditaruh di depan
pintu panti asuhan. Aleth menemukan dirinya ketika memutuskan untuk mengadopsi
seorang adik setelah kehilangan seluruh anggota keluarganya dalam kecelakaan 4
tahun yang lalu. Hidup sendirian sempat membuat Aleth depresi, karena itu ia langsung
mengangkat Chierru, meskipun perbedaan umur mereka cukup jauh, yakni 12 tahun. Dia
tak mempermasalahkan keadaan Chi yang tidak sempurna, karena baginya, bisa melihat
sang adik tumbuh saja membuatnya tetap semangat.
Aleth hanya bisa menghembuskan
nafas, menatap kedua penyu yang kini berada di genggamannya. Lei dan si penyu ‘no name.’ Dia sudah biasa jika Chierru
bersikap cuek seperti itu dan Aleth mengerti bahwa jawaban apapun yang dia
berikan pasti akan membuat sang adik marah.
“Lei, maaf ya. Chierru tak bisa
merasakan momen terakhirnya bersamamu,” Aleth berbisik pasrah.
Tapi
yang penting... kudoakan agar kalian selalu hidup bahagia di manapun kalian
berada. Meskipun... kalian hanya sepasang makhluk kecil di dunia yang kejam
ini.
***
Who
then shall blame, his pestered senses to recoil and start, when all that is
within him does condemn itself for being there?
Aleth baru saja ingin melanjutkan kegiatan membaca
naskah Macbeth yang ia bawa dari Jakarta itu ketika mendengar Chierru merintih
dari atas tempat tidur. Buru-buru ditutupnya dan mengecek keadaan sang adik. Sejak
hari pertama mereka di sini, Aleth memang sudah memutuskan untuk tidur di
lantai menggunakan alas, karena mereka
berada di satu kamar dengan single bed. Tadi
sore Chierru terus saja berdiam diri di kamar dan menolak keras ajakannya untuk
makan di Benihana seperti yang mereka rencanakan. Bahkan sushi porsi kecil yang dibawa Aleth untuknya tidak dimakan. Ia pergi
tidur terlebih dahulu tanpa mengucapkan selamat malam seperti biasanya, membuat
Aleth sadar bahwa Chi masih marah.
“Chi? Ada apa, Chi?”
Chierru mengerang ketika merasakan
tangan Aleth menyentuh dahinya, berusaha keluar dari lipatan bed cover tebal yang membuatnya gerah,
“Aleth... aku tidak demam...”
“Sakit maag lagi?” tembak Aleth.
“I-iya.”
Aleth geleng-geleng kepala. Sudah
tahu punya riwayat penyakit seperti itu, Chierru masih saja mengedepankan ego ‘ngambeknya.’
“Sudahlah, ayo makan dulu,” dia
beranjak mengambilkan makanan yang sedari tadi ditinggalkan begitu saja di
sebelah televisi, “Aku lupa ini menu apa, tapi aku yakin kau sudah pernah
memakannya ketika kita pergi ke Benihana Grand Indonesia waktu itu. Namanya
mirip sosis...”
“Sushi,
Aletheia Niandri,” Chierru mengoreksi.
“Oke, aku lemah dalam menghafal nama
Jepang,” Aleth mengangkat bahu, “Kau mau disuapi atau makan sendiri?”
“Sendiri.”
Aleth segera meraih minyak kayu
putih dan segelas air yang selalu ada di sebelah lampu tidur. Tak lupa ia juga
mengambil satu strip obat maag dari dompetnya. Sembari menyuruh Chierru untuk
menelan tablet kehijauan tersebut, Aleth membalurkan minyak kayu putih ke perut
dan punggung adiknya. Kemudian ia membukakan makanan Chi, mengenggamkan sumpit
ke jari-jari kurus itu. Semua kegiatan tersebut dilakukan dengan cekatan karena
Aleth tak mau sakit maag itu semakin parah dan membuat nafsu makan Chierru
menghilang.
“Kunyah pelan-pelan, yang penting
kau makan sedikit agar perutmu tak terlalu kosong.”
Aleth mengusap perlahan punggung
Chierru. Pemuda itu mulai meraih sushi pertamanya
tanpa kesulitan yang berarti. Sejak kecil Aleth memang sudah membiasakan
Chierru untuk makan dengan menggunakan sumpit maupun sendok dan garpu, karena
ia tahu Chierru harus mengenal kebiasaan ‘negara asalnya’ juga. Tak ada
pembicaraan lebih lanjut sejauh ini, hanya terdengar kecapan lidah samar selagi
Chi asyik bersantap. Aleth sesekali menyeka telur salmon yang tertinggal di
dagu Chierru atau nasi yang menempel di pipinya, tapi dia tetap mengawasi dalam
diam.
“Nee?”
Chierru memanggil, setelah sadar bahwa tak ada respon berarti yang diberikan kakaknya
“Ya, Chi?”
Chierru menelan nori alias rumput laut yang masih menyangkut di tenggorokannya
sebelum menjawab dengan bisikan cepat tanpa spasi, “Umm... akumintamaaf.”
“Kau bicara terlalu cepat, Chi,”
Aleth mengangkat kedua alisnya, bingung.
“Aku...” Chierru menunduk, sumpit di
tangan kanannya dimain-mainkan, “...minta maaf.”
“Untuk apa?”
“Aku tak seharusnya... marah
padamu,” Chierru menghentikan kegiatan makannya sesaat. “Aku sudah bersikap tak
sopan sejauh ini... padahal kau sudah mengorbankan banyak hal supaya kita bisa
bersenang-senang di The Bay Bali... tapi aku malah merusak semuanya.”
Aletheia tersenyum.
“Aku juga salah, Chi. Aku tidak
bersikap sabar sebagai seorang kakak... dan aku... malah kesal karena kau
terlalu banyak bertanya.”
Chierru merasakan tangan Aleth
mendekap lengannya dengan hangat.
“Siang tadi, aku kecewa padamu,”
lanjut Aleth, “Karena kupikir sampai sekarang kau tidak bisa mensyukuri kehidupanmu
yang telah berubah menjadi lebih baik. Tapi aku pun sadar, pendekatan yang
kugunakan masih salah sehingga mindset-mu
sama seperti dulu. Kasih sayang yang kuberikan padamu masih kurang...”
“Tidak, neechan,” Chierru merasakan bola mata statisnya memanas, “Justru
aku yang kurang menyayangimu. Setelah kupikir-pikir seharian ini... aku terlalu
keras kepala untuk memahami bahwa semua yang kau katakan itu benar, bahwa
kebahagiaan ada ketika kita bisa bersyukur, dan aku belum merasa bahagia karena
aku terlalu terikat pada masa laluku, terlalu mengingat kesalahan kedua
orangtuaku dan pengalaman buruk yang selalu membekas di otakku. Seharusnya, aku
bisa melupakan itu semua bersamamu dan melangkah maju. Keep moving forward. Move on. Menjadi bahagia dengan menatap lurus
ke depan, menunggu kebahagiaan abadi yang akan Tuhan berikan suatu saat nanti
sembari menjalani hidup tanpa mengeluh.”
Tiba-tiba saja ia menghambur ke
pelukan Aleth. Ada butir-butir bening yang mengalir, membentuk aliran sungai di
pipi halusnya, jatuh ke lengan sang kakak yang terlapisi sweater rajutan. Sebab Chierru benar-benar lega saat ini. Ia masih
bisa merasakan kelembutan dari sosok kakaknya yang tangguh itu. Masih bisa
berlibur dengan Aletheia Niandri, masih bisa mendapatkan limpahan kebahagiaan
darinya, dan yang terpenting, ia masih memiliki
Aleth.
“Chi...”
Aleth membiarkan Chierru untuk menumpahkan
segala perasaannya sekarang. Dia yakin Chierru sudah lebih siap untuk
menghadapi hari-hari berikutnya. Ia sudah siap untuk menerima kebahagiaan yang
sejati, dan yang terpenting adalah Chierru sudah bisa mendapatkannya. Sepasang bola mata sepekat teh terpejam, ikut
terbawa suasana, sementara segaris senyum terulas di bibirnya.
Bahkan
ketika kau mengerti arti kebahagiaan itu sendiri sudah mampu membuatku bahagia,
Chi.
***SELESAI***
Friday 7 June 2013
Keep Calm & Classified!
As you know, nowadays Keep Calm slogan is very popular. At first, I don't really pay attention with those Keep Calm thingy. But last year, maybe around December, when I see Keep Calm font on a website (dafont), I think it's quite interested. Keep Calm typography is bold yet stylish. So I downloaded Keep Calm font, and then I have an idea to make Keep Calm sentence with Alex Rider theme (if you don't know what it's Alex Rider, especially Indonesian people because Alex Rider novel hasn't translated yet into our language, check this out). Then, I'm working on it and finished faster then I thought.
This is it!
This is it!
What do you think? Edited using Adobe Photoshop CS and MS Paint (manual often helps~). By the way, 'classified' is a word that Alex Rider says in many occasions.
I think it has became his trademark...
After that, another idea came to me. It's New Year and I think I'll give this Keep Calm and Classified picture to Anthony Horrowitz, Alex Rider's writer. I tweeted my picture along with Happy New Year greeting:
(Sorry the prints screen is cropped O.o)
Actually, it was kinda late, because I tweeted on 2 January, but I thought it's okay because still on New Year's Eve 'atmosphere' hehehe :D I just want to say something to him, because I think he's a great writer and should be appreciated. But I'm very surprised when he replied:
Whoa, I think he would only say: Thanks, Happy New Year too or something like that. But I could say that he likes my fan-art ha-ha-ha :D
Well, thanks, Uncle Horrowitz. I hope someday I could meet you. Hope that I'll be a great writer like you too!
Tuesday 7 May 2013
Update~
It's meeh~ XD |
Hey pals, after almost a year of tests and homework, I've updated this blog! I've changed the background and some colors, and updated My Other Stuffs section. The most important thing, the blog url is changed from shelinggom to selinggoms. Okay, that's all. Thanks for reading and keep blogging! :)
Ib Version 1.04 & 1.05
Adakah yang pernah mendengar tentang Ib?
Cara membaca namanya adalah 'Eeb.' Sering juga disebut sebagai Eve, tapi sebenarnya nama tokoh utama dalam game horor berjudul sama ini adalah Ib. Iya, Ib itu game horor. Role-play game tepatnya. Saya diperkenalkan oleh teman-teman sesama otaku saya tahun 2012 akhir, sekitar bulan Oktober atau November. Penciptanya adalah kouri, orang Jepang. Game ini memang buatan Jepang, tapi untungnya sudah di translate oleh seseorang yang bernama vgperson.
Game ini bercerita tentang seorang gadis berumur 9 tahun bernama Ib (foto kanan) yang datang ke sebuah pameran lukisan dari pelukis bernama Guertena bersama kedua orangtuanya. Ketika ia melihat sebuah lukisan berjudul Fabricated World, tiba-tiba saja seluruh ruangan menjadi gelap dan orang-orang di sana menghilang. Ib lalu terjebak dalam dunia lukisan Guertena. Ia bertemu dengan seorang pemuda berambut ungu bernama Garry.
Mereka juga bertemu dengan seorang gadis berambut pirang dan bermata biru bernama Mary. Awalnya perjalanan Ib terasa lebih ringan dengan kehadiran Garry dan Mary. Tapi ternyata, salah satu dari sahabat baru Ib itu menyimpan rahasia besar yang berkaitan dengan Guertena, sang pelukis.
Apakah rahasia besar itu? Dan bagaimanakah Ib bisa keluar dari sana?
Di versi yang pertama saya mainkan (1.02), Ib memiliki 5 alternatif ending. Ending apa yang kita dapatkan berkaitan dengan pilihan-pilihan yang kita buat selama game berlangsung (ingat, ini RPG). 5 ending tersebut adalah: Promise Of Reunion, Memory's Crannies, Together Forever, Forgotten Portrait, dan Ib All Alone. Kemudian, saya mendengar bahwa versi 1.04, versi terbaru dari Ib sudah dirilis. Versi ini memiliki 2 ending baru: A Painting's Demise dan Welcome To The World Of Guertena. Tentu, tidak akan seru jika saya membocorkan semuanya, jadi saya akan memberikan Anda dua gambar yang dapat menggambarkan keduanya secara garis besar.
Mary, A Painting's Demise ending |
Mary, A Painting's Demise Ending |
(dari kiri) Garry, Mary, & Ib. Welcome To The World Of Guertena ending. |
Nah, sudah bisa agak menebak bukan, bagaimana kedua ending baru tersebut? Selain 2 ending baru, Ib versi 1.04. juga punya tambahan ruangan, yaitu sebuah ruang bawah tanah yang penuh dengan teka-teki dan logika. Jujur, saya nge-spoil juga sih :p Dan sepertinya ruang bawah tanah di versi 1.04 ini susaaah banget. Tapi seru kok, saya jamin he-he-he. Kalau kalian nggak kuat main sendiri, main bersama teman juga bisa, malah jadi bisa berbagi kekagetan dan ketakutan (?) he-he. Saya sendiri sih, baru punya versi 1.02, berhubung saya masih belum biasa dengan versi 1.04, mungkin saya akan menggunakan walkthrough sementara jika saya memainkan versi 1.04 nanti.
Salah satu bagian di Ib's New Dungeon (ruang bawah tanah di versi 1.04) |
Lalu saya mengecek lagi ke tumblr-nya vgperson (yang men-translate game ini), ternyata sudah ada versi 1.05! Vgperson (nama aslinya Kate, dan dia seorang perempuan) menyatakan bahwa di versi ini, bagian ruang bawah tanah yang saya bilang susaaahhh banget itu akan dipermudah. Dia juga mengatakan bahwa kouri, sang pembuat Ib, telah mengkonfirmasi bahwa ia belum mempunyai rencana melakukan update lagi. Jadi, bisa dibilang, versi 1.05 adalah versi terbaru, meski saya lihat dari komentar orang masih ada sedikit bugs. Tapi keseluruhan, versi 4 dan 5 adalah yang terlengkap.
Eh, setelah ngomong sepanjang ini, saya bahkan belum memberitahu di mana download Ib ya? Hehehe, silahkan kunjungi website vgperson, yaitu di sini. Lihat saja petunjuknya, dia sudah pakai bahasa Inggris kok. Kalau kouri sendiri, website miliknya adalah ini, tapi semuanya dalam bahasa Jepang. Well, saya suka anime, manga etc tapi bahasa Jepang saya masih jauh dari bagus. Jadi saya pun masih kurang mengerti ketika membaca web kouri.
Oke, saya harap Anda tertarik dengan game ini, karena Ib memang ber-genre horor, tapi horor di dalam Ib adalah horor yang berkelas dan keren. Such a great epic. Apalagi, theme song dari Ib yaitu Memory. Lagunya sungguh menyentuh dan mellow. Mau dengar, seperti apa lagunya? Silahkan buka tumblr saya, saya pasang lagu itu sebagai back sound. *sekalian promosi* Selain itu, game ini juga bisa melatih keberanian dan logika kita, lho. Kita harus pintar-pintar memberi jawaban agar bisa mendapatkan ending yang kita inginkan, baik ending yang membahagiakan atau menyedihkan.
Oh ya, kalau Anda sudah mencoba bermain Ib, beritahu saya juga ya. Kita bisa diskusi bareng tentang Ib 'kan, he-he-he. Dan jangan lupa, meskipun main Ib mengasyikkan, jangan lupa waktu. Tetap ingat untuk beribadah, belajar, makan, tidur, dan melakukan hal lainnya.
Happy playing!
(NB: Ib's Memory Theme Song. So touchy.)
(NB: Ib's Memory Theme Song. So touchy.)
Subscribe to:
Posts (Atom)